Intisari-online.com -Normalisasi Israel menjadi istilah yang semakin normal di era Donald Trump, presiden AS ke-45.
Trump mengajak negara-negara Arab untuk mulai bersikap normal dengan Israel.
Namun rupanya, tujuan utama Trump laksanakan urusan berisiko itu adalah agar Indonesia mengakui Israel.
Dikutip dari The Strategist, Trump rupanya sampai rela keluarkan banyak uang agar Indonesia mau mengakui Israel.
Baca Juga: Sempat Sesumbar Enggan Normalisasi dengan Israel, Qatar Kini Buka Peluang dengan Syarat
Uang diberikan ke Jakarta dalam bentuk peningkatan pembiayaan pembangunan, sebagai gantinya Jakarta harus mengakui Israel.
Diplomasi itu benar-benar diplomasi tanpa malu, dengan dasar pikiran bahwa iming-iming uang akan selalu mengalahkan segalanya.
Termasuk sebuah prinsip yang sudah lama dipegang oleh Indonesia.
Memang kapan dan bagaimana administrasi Trump membuat penawaran ke Indonesia masih saja rahasia.
Namun mudah dibayangkan ketika dua kunjungan ke Jakarta tahun 2020 kemarin oleh seseorang bernama Adam Boehler.
Adam Boehler adalah seorang pejabat senior Trump, yang baru-baru ini membeberkan upaya administrasi Trump mengupayakan normalisasi Indonesia-Israel.
Hal tersebut ia beberkan dalam pidato di Yerusalem.
Boehler juga merupakan CEO dari US International Development Financing Corporation (DFC) yang saat kunjungannya ia bertemu Presiden Jokowi dan pejabat lainnya.
Mudah digambarkan jika Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga mengupayakan hal ini saat kunjungan akhir Oktobernya ke Jakarta, mengingat ideologinya dalam pertanyaan mengenai Israel,
Ada juga kemungkinan hal ini disuarakan dalam pertemuan 17 November antara Menteri Luhut Panjaitan dan beberapa pejabat Trump, termasuk Boehler, Jared Kushner, Ivanka Trump.
Luhut juga tercatat pernah bertemu dengan Trump sendiri.
Pertemuan dengan Luhut itu sendiri cukup membuat banyak spekulasi liar muncul, karena tidak ada detail konkrit dari dua negara mengenai apa yang didiskusikan.
Termasuk yang masih dipertanyakan apakah urusan pribadi Trump di Indonesia juga termasuk topik pembicaraan.
Betapa valid spekulasinya, pembeberan Boehler bahwa Indonesia dapat mendapatkan pembiayaan pembangunan jika bergabung dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain dalam mengupayakan hubungan normal dengan Israel tunjukkan dasar jika Kushner and co. telah gunakan kesempatan mempromosikan perjanjian kepada sosok-sosok penting di pemerintahan Jokowi dan bahkan ke presiden Indonesia sendiri.
Lebih menariknya lagi, juru bicara menteri luar negeri Indonesia tidak menampik jika pemerintahan Trump telah memberikan ide seperti itu.
Luhut sendiri tidak pernah membahas detail mengenai pertemuannya dan 'surat kepentingan' yang muncul dari perjalanannya, yang ia sebutkan dapat melihat DFC menyuntikkan dana miliaran Dolar ke dalam dana kekayaan kedaulatan Indonesia.
Namun, tidak ada dari DFC yang kemudian menyarankan jika komitmen seperti itu adalah sesuatu yang sangat bersyarat.
Bisa ditebak, pemerintah Jokowi telah menolak saran apapun yang membuat Indonesia meninggalkan Palestina.
Kebijakan luar negeri Indonesia sudah cukup jelas, bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika negara Palestina sudah berdiri dengan utuh.
Menlu Retno Marsudi juga sudah mengutarakan penolakan laporan dari Yerusalem bahwa pembicaraan antara Israel dan Indonesia mengenai pengakuan itu sudah berjalan lancar.
Pejabat lain di lingkaran kebijakan luar negeri Indonesia juga sudah menyuarakan penolakan ini.
Namun kemudian ada pertanyaan yang telah menjadi topik debat di Jakarta, apakah Indonesia akan melakukan yang dulunya dilakukan Mesir puluhan tahun lalu dan sekarang dilakukan negara lain.
Prospek kucuran dana menarik bagi Jokowi yang ingin mengedepankan pembangunan.
Tidak lupa, mantan presiden sebelumnya, yaitu Abudrrahman Wahid alias Gus Dur, sudah lama ingin membuka hubungan diplomatik dengan negara yang telah ia kunjungi sebelum menjabat.
Namun Jokowi seharusnya tahu, membuang Palestina untuk beberapa Dolar AS akan membuat posisinya di Indonesia sangat terancam dan akan lahirkan tugas politik lebih banyak lagi.
Terlepas dari langkah-langkah pemerintahannya yang sudah banyak mengambil kegiatan kontra dengan prinsip anti-Pancasila dan menentang kelompok Islam radikal, Jokowi adalah sosok yang paling mungkin untuk mengabaikan suasana hati populer, dan ia lebih cenderung pragmatis.
Hal itu juga didukung oleh Luhut, sosok menteri yang tidak memiliki kepentingan dalam isu Israel-Palestina karena ia beragama Kristen sehingga lebih mudah mengiyakan isu ini.
Meski begitu, tetap saja, hal ini akan lebih mungkin memicu oposisi, bahkan dari kelompok Muslim moderat.
Pemerintah Indonesia tentu tahu risiko menjual Palestina hanya menguntungkan mereka dalam waktu yang sangat singkat untuk harga yang sangat mahal yang harus dibayar dalam keadaan yang paling menguntungkan.
Lebih-lebih jika Palestina dibuang untuk pembangunan, maka pembangunan itu harus terlaksana, tidak ada kata mangkrak ataupun tertunda, karena pastinya banyak rakyat Indonesia menuntut hal yang sampai hati membuang rekan Palestina itu.
Padahal, masa jabatan Jokowi sudah sangat terbatas, karena ia hanya memiliki usia jabatan beberapa tahun lagi.
Pelaku pemerintahan Trump kembali menyoroti betapa rusaknya hal itu terhadap Indonesia.
Jika tawaran pembangunan datang tanpa syarat yang tidak sensitif dan benar-benar dilaksanakan, Jokowi akan semakin populer di masyarakat, dan membalas tawaran China ke Indonesia.
China sendiri juga menawarkan banyak investasi ke Indonesia, tapi tidak menawarkan ideologi China, atau tidak menutupi pelanggarannya terhadap kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan.
Ke depannya, hal ini bisa jadi pembelajaran untuk pemerintah AS dalam mengelola Indonesia sebagai sekutu strategis mereka.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini