Intisari-Online.com -Waruga, sejenis sarkofagus dari Minahasa, pernah membuat para penjajah dari Belanda ketakutan hingga melarangnya.
Sebuah penyakit yang pernah mewabah di dunia dan memicu kematian ratusan ribu orang menjadi penyebabnya.
Akhirnya, karena ketakutan tersebut, praktik budaya ini pun dilarang oleh pemerintah Belanda.
Penyakit apa yang dimaksud? Simak ulasannya berikut ini.
Waruga adalah sejenis sarkofagus atau makam di atas tanah yang secara tradisional digunakan oleh orang Minahasa di Sulawesi Utara, Indonesia.
Pada zaman Minahasa kuno, seperti dilansirthevintagenews.com, jenazah orang yang meninggal akan dimasukkan ke dalam Waruga dengan posisi jongkok, aslinya dibungkus dengan woka, sejenis daun.
Suku Minhasa percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara sehingga jenazah diletakkan dalam posisi menghadap utara.
Mereka terbuat dari batu dan terdiri atau bagian atas bergerigi dan bagian bawah berbentuk kotak.
Penutup atas berbentuk mirip atap sehingga seluruh Waruga tampak seperti rumah, tradisi yang dipelihara sejak tahun 1600 M.
Makam itu beragam, tergantung profesi atau status sosial orang yang dimakamkan.
Jika ornamennya adalah manusia, itu menandakan bahwa almarhum pernah menjadi pemimpin.
Jika itu adalah sapi, maka yang meninggal adalah seorang pemburu.
Waruga terkadang digunakan untuk menyimpan lebih dari satu mayat.
Kapasitas maksimal Waruga sekitar 12 orang, biasanya dari satu keluarga.
Ada sekitar 370 Waruga di Rap-Rap (15), Airmadidi Bawah (211) dan Sawangan, Sulawesi Utara (144).
Objek wisata ini tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995 di taman purbakala waruga di Sawangan, sekitar 40 Km dari kota Manado.
Di pintu masuk situs terdapat relief dinding yang menceritakan tentang cara membuat Waruga dan cara penggunaannya.
Belanda melarang penggunaan waruga pada abad ke-19 dan Minahasa mulai membuat peti mati untuk menguburkan orang mati karena takut akan wabah penyakit (tifus dan kolera).
Ketakutan ini sebenernya terasa wajar. Sebab kolera pernah mewabah dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Wabah Kolera pada tahun 1820 berasal dari India kemudian menyebar ke kampir ke seluruh negara Asia termasuk Indonesia.
Ratusan ribu orang tewas akibat wabah Kolera termasuk banyak tentara Inggris sehingga menarik perhatian masyarakat Eropa. Tercatat lebih dari 100.000 mortalitas di Asia akibat wabah Kolera.
Beberapa pihak memperkirakan di Bangkok, Thailand, kemungkinan terjadi 30.000 kematian akibat Wabah Kolera . Sementara itu di kota Semarang, diperkirakan 1.225 orang meninggal dunia.