Intisari-Online.com - Tentu tidak ada negara yang ingin punya militer paling lemah di dunia, karena itu bisa berarti kedaulatannya lebih mudah terancam.
Salah satu tugas angkatan bersenjata suatu negara adalah untuk menjaga kedaulatan negaranya.
Tugas lainnya termasuk mengatasi pemberontakan bersenjata, dan mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya.
Namun, tak jarang kelompok militer pula yang melakukan aksi kudeta menggulingkan pemerintahan, seperti yang terjadi di Gabon tahun 2019 lalu.
Militer Gabon sendiri merupakan salah satu militer paling lemah di dunia.
Gabon berada di peringkat ke-9 dari bawah untuk kekuatan militernyadengan IndexPower 3,3736 (0,0000 dianggap 'sempurna').
Kekuatan militer negara ini hanya dianggap lebih unggul dari Bhutan, Liberia, Somalia, Suriname, Sierra Leone, Bosnia, Panama, dan Laos.
Kudeta militer Gabon yang dilakukan untuk menggulingkan Presiden Ali Bongo tentu bukan tanpa alasan.
Mengutip aljazeera.com (7/1/2019), saat itu Letnan Kelly Ondo Obiang, merupakan tentara yang mengumumkan perebutan kekuasaan melalui media nasional.
Ia mengidentifikasi dirinya sebagai wakil komandan Pengawal Republik dan presiden Gerakan Pemuda Patriotik dari Pasukan Pertahanan dan Keamanan Gabon.
Menurut pernyataannya, kelompok tersebut harus mengambil kendali karena Bongo secara fisik dan mental tidak mampu memerintah negara karena kesehatannya.
Ia mengkritik "hierarki militer yang tinggi" karena gagal mempertahankan "kepentingan terbaik bangsa" dengan mentolerir kebohongan presiden tentang kesehatannya, merujuk pada pidato Tahun Baru yang dibuat di Maroko di mana dia menyatakan bahwa dia baik-baik saja.
Baca Juga: Cara Melihat RAM Hp Xiaomi, Tinggal Ikuti 5 Langkah Mudah Ini
Ondo Obiang mengatakan tujuan kudeta adalah untuk menyelamatkan demokrasi dan memelihara "keutuhan wilayah nasional dan kohesi nasional".
Menggambarkan upaya itu sebagai "Operasi Martabat", dia meminta semua pasukan keamanan dan pemuda Gabon untuk mempersenjatai diri mereka dan "mengendalikan semua sarana transportasi, barak, pos pemeriksaan keamanan, gudang senjata, bandara".
"Gabon akan dipimpin oleh 'dewan pemulihan nasional' yang akan segera dibentuk," kata Ondo Obiang saat itu.
Namun, kudeta itu gagal, mengutip bbc.com (7/1/2019), Juru bicara pemerintah mengatakan situasi politik di Gabon "di bawah kendali" menyusul percobaan kudeta militer terhadap Presiden Ali Bongo.
Sementara dua tentara yang ikut serta dalam upaya kudeta di Gabon diklaim telah tewas.
Keluarga Bongo sendiri telah memerintah negara penghasil minyak itu sejak tahun 1967.
Bongo telah menjadi presiden sejak menggantikan ayahnya, Omar, yang meninggal pada tahun 2009.
Pemilihannya kembali pada tahun 2016 diwarnai oleh klaim penipuan dan protes yang disertai kekerasan.
Perekonomian Gabon telah lama didukung oleh pendapatan minyak, yang sebagian besar jatuh ke tangan kaum elit kaya raya sementara sebagian besar dari dua juta penduduk hidup dalam kemiskinan yang parah, menurut laporan Reuters.
Sebelum 7 Januari 2019, Gabon tidak pernah mengalami upaya kudeta selama lebih dari 50 tahun.
Upaya terakhir untuk menggulingkan pemerintah terjadi pada tahun 1964 ketika lawan politik di dalam militer mencoba menggulingkan Presiden Leon M'ba, dikutip The Conversation.
Menurut Clayton Besaw dan Jonathan Powell, peneliti ilmu politik dan Lektor Kepala Universitas Florida Tengah, dibandingkan dengan semua plot kudeta Afrika sejak 1950, pengalaman terakhir Gabon menyimpang dari kudeta sukses yang khas.
Menurut mereka, meski kudeta Gabon merupakan peristiwa mengejutkan, namun hasilnya tidak mengejutkan.
"Melihat risiko relatif yang mendahului setiap peristiwa kudeta dunia sejak 1950, kami menemukan bahwa risiko persentil Gabon (ke-72) hampir 23 poin lebih rendah daripada persentil risiko median (ke-95) untuk semua peristiwa kudeta Afrika dalam data tersebut," katanya.
Dikatakan itu menunjukkan bahwa kondisi yang ada di Gabon jauh lebih tidak kondusif untuk kudeta daripada sebagian besar upaya sebelumnya.
"Data kami menunjukkan bahwa ini pasti masalahnya. Kami menemukan bahwa ketika risiko relatif yang mendahului peristiwa kudeta lebih rendah, maka lebih banyak kudeta yang gagal di Afrika," katanya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari