Intisari-online.com -Masih jadi pertanyaan sampai sekarang, apa kunci keberhasilan Korea Utara kelabui sanksi AS dan PBB.
Sanksi yang diberikan PBB ditujukan untuk menghentikan pembiayaan senjata nuklir negara itu.
Tapi Korea Utara tidak pernah berhenti menghasilkan senjata-senjata nuklir.
Selain hebat dalam senjata nuklir, Korea Utara juga malah bergerak cepat memperluas kemampuan siber di dalam maupun luar negeri.
Saat negara lain terancam dengan keamanan siber, Korea Utara jadi negara yang mengancam protokol keamanan siber negara lain.
Hal ini menunjukkan jika ketika sanksi diperketat di area lain, Korea Utara masih terus bisa mengeksploitasi kerentanan dalam keamanan siber.
Tujuannya tidak lain adalah memperoleh dana bagi program pengembangan senjata nuklir mereka.
Pasar siber, dilihat dari ukuran dan tidak adanya jaminan keamanan yang resmi, adalah hal-hal yang membuat Korea Utara tertarik.
Hal itu menjadi keuntungan besar bagi para pelaku kejahatan siber di Korea Utara, karena operasi siber di negara itu berisiko rendah dan tidak perlu biaya banyak dan tentunya menghasilkan banyak.
Menurut Nam Jae-Joon, mantan direktur Jasa Intelijen Korea Selatan, Kim Jong-Un sendiri mengemukakan pentingnya mengembangkan kemampuan siber untuk senjata nuklir.
Kim Jong-Un mengklaim jika "perang siber bersama dengan senjata nuklir dan rudal adalah 'pedang serba guna' yang menjamin kemampuan militer Korea Utara."
Mei 2020 kemarin, rezim Korea Utara diduga merekrut setidaknya 100 lulusan terbaik dari universitas sains dan teknologi terbaik.
Lulusan-lulusan itu direkrut masuk ke militer mereka untuk bisa mengatur sistem perencanaan taktik Korea Utara.
Mirim College, yang juga dikenal sebagai University of Automation, meluluskan kira-kira 100 hacker tiap tahunnya.
Menurut kesaksian pembelot, mahasiswa di Mirim College belajar untuk membedah sistem operasi Microsof Windows, membuat virus komputer yang merusak, dan membuat kode dalam berbagai bahasa pemrograman komputer.
Microsoft Windows jadi perhatian mungkin bisa menjelaskan serangan siber ransomware WannaCry 2017, sebuah serangan siber yang dipimpin oleh Korea Utara.
Baca Juga: Lagi-lagi Korea Utara yang Dicurigai Sebagai Dalang di Belakang Ransomware WannaCry
Serangan itu berhasil membobol 300 ribu komputer di 150 negara, menargetkan kerentanan di sistem operasi Microsoft Windows.
Pada parade militer 10 Oktober kemarin, Korea Utara mengonfirmasi pendirian universitas sains dan teknologi baru.
Hal ini menunjukkan investasi nasional dana pemerintah untuk memastikan penggabungan sipil dan militer lebih besar, mengancam stabilitas regional dan keamanan internasional.
Rupanya Korea Utara tidak melakukannya sendirian, dari laporan Angkatan Darat AS, saat ini Korea utara memerintahkan sekitar 6000 agen dunia maya.
Mereka melakukannya melalui empat organisasi intelijen yang tersebar di seluruh dunia, termasuk Grup Lazarus yang terkenal bertanggung jawab atas beberapa serangan siber yang besar.
China juga diketahui menjadi pendukung aktivitas dunia maya ilegal Korea Utara, melalui pelatihan dan instruksi akademis.
Banyak pelajar Korea Utara yang belajar ke China, di universitas sains dan teknologi China yang sudah maju seperti Institut Teknologi Harbin (HIT).
China menjadi akses teknologi dan peralatan canggih yang dicoba dihentikan AS dan PBB melalui sanksi nuklir kepada Korea Utara.
Pemerintah China terus mengejar kemitraan akademis resmi dengan universitas Korea Utara yang berafiliasi dengan militer.
Jika hal itu terjadi, pastilah menjadi batu loncatan untuk serangan siber di masa depan.
November 2019 lalu, Kementerian Pendidikan Tiongkok dan Ketua Komisi Pendidikan Korea Utara telah bersama menandatangani Perjanjian Pendidikan dan Kerja Sama Tiongkok Korea Utara untuk 10 tahun (2020-2030).
Gunanya adalah untuk memperkuat kemitraan akademik dan pertukaran pascasarjana.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini