Intisari-Online.com - Sebagai pasukan khusus, Kopassus TNI selalu mendapatkan tugas operasi militer dan non-militer yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.
Meski tugas-tugas tersebut sangat sulit dan berisiko tinggi, anggota Kopassus tetap melaksanakan tugas tersebut dengan persiapan dan perhitungan matang.
Menghadapi musuh-musuh dengan senjata lengkap barangkali sudah biasa bagi Kopassus.
Namun, apa jadinya jika Kopassus dihadapkan pada musuh yang memiliki ilmu hitam?
Ya, benar, Kopassus pernah mendapat misi melawan musuh yang menyandera WNI dengan kekuatan ilmu hitam.
Itu dialami Kopassus ketika mengemban misi pembebasan sandera WNI di belantara Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Untuk menyelesaikan misi tersebut, pasukan elit TNI AD itu pun meminta bantuan darirakyat sipil.
Mereka adalah tiga pendekar hebat yang berasal dari daerah Banten.
Kopassus pun melakukan kolaborasi yang apik dengan ketiga jawara Banten tersebut untuk melawan musuh yang dilindungi oleh ilmu hitam.
Kedatangan jawara Banten tersebut untuk memberi tameng pada anggota Kopassus saat mereka mendapat serangan ilmu hitam.
Kisah mengenai hal ini dikutip TribunJambi.com dari seorang penulis bernama Ian Douglas Wilson.
Saat itu, TNI baret hijau dan pasukan khususnya yang berbaret merah Kopassus dibebankan sebuah misi penyelamatan sandera.
Rupanya di antara pasukan itu terdapat tiga orang sipil yang menjadi ujung tombak operasi pembebasan sandera di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Ketiga pasukan tambahan itu adalah H Tubagus Zaini, Tubagus Yuhyi Andawi, dan Sayid Ubaydillah Al-Mahdaly yang merupakan jawara asal Banten.
Ketiga jawara pemilik ilmu adikodrati (supranatural) tersebut dianggap berguna untuk menghalau serangan ilmu hitam pihak musuh.
Dikutip dari Kompas (9 Novemver 1998), Sayid Ubaydillah mengatakan, "Waktu itu kami diminta membantu. Tugas kami memberikan perlindungan spiritual para anggota pasukan. Termasuk menangkal ilmu gaib yang mungkin dipakai para penyandera."
Kala itu, TNI termasuk Kopassus memang kesulitan menerabas lokasi penculikan di rimba belantara Mapenduma lantaran tak memiliki peta daerah.
Selain menghalau ilmu gaib musuh, tiga pendekar tersebut dianggap perlu terlibat dalam operasi pembebasan sandera yang penuh bahaya tersebut.
Hal itu karena mereka memiliki ilmu kanuragan, dapat melihat, mengendus dan meraba bahaya tanpa pancaindera.
Menurut Douglas Wilson, saat operasi Timor-Timur pada 1988-1989, Prabowo Subianto sebagai komandan Batalyon 328, telah aktif memperkenalkan perguruan pencak silat Satria Muda Indonesia (SMI) kepada para pemuda lokal.
Seorang instruktur senior SMI bercerita pernah ada pelatihan anggota SMI di Timor-Timur.
Douglas Wilson melanjutkan, pada tahun 1993, instruktur-instruktur SMI telah melatih para anggota Grup III Kopassus di Batujajar, Bandung.
Kemudian dua tahun melatih Korps Marinir, Korps Brigade Mobil (Brimob), Paskhas AU, dan Batalyon 321, 315, 328, dan 330 Kostrad.
Prabowo menganggap pencak silat merupakan kombinasi antara sipil dan kehidupan militer.
Ide kolaborasi grup silat dan militer kemudian diterapkan saat operasi pembebasan sandera Mapendum, Papua.
Tiga pendekar asal Banten itu ikut pada operasi.
Douglas Wilson menulis, "Prabowo beranggapan memperkuat antara grup Pencak Silat dan militer sangat penting untuk mempertahankan negara."