Advertorial
Intisari-Online.com - Direktur Intelijen Nasional (DNI) Amerika Serikat, John Lee Ratcliffe, menyebut China sebagai ancaman terbesar terhadap demokrasi dan kebebasan sejak Perang Dunia II.
Dalam tulisannya di Wall Street Journal, Ratcliffe menuduh China mengembangkan kekuatan ekonomi dengan mencuri rahasia dan mereplika teknologi korporasi besar AS.
Dengan bekal itu, kata Ratcliffe, China kemudian menyingkirkan perusahaan asal AS di pasar global.
Pemerintahan Donald Trump selama ini bersitegang dengan China. AS mematok tarif tinggi untuk setiap produk China, bahkan menuduh mereka melakukan pencurian intelektual.
Hingga artikel ini disusun, otoritas China belum menanggapi berbagai tuduhan ini.
Namun, China sudah membalas kebijakan AS secara tegas, antara lain dengan skema pengenaan tarif dan menjauhkan raksasa telekomunikasi Huawei dari pasar Amerika.
Ratcliffe menuding China mempersiapkan strategi untuk berkonfrontasi dengan AS. Tujuannya, kata dia, untuk mendominasi dunia dari segi ekonomi, militer, dan teknologi.
Tulisan Ratcliffe ini mengulang pendapat yang sebelumnya diutarakan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo dan kepala FBI, Christopher Wray.
Tudingan ini muncul saat China menekan sekutu AS, yaitu Australia.
Mereka membuat daftar kebijakan yang menurut mereka mesti diubah pemerintah Australia.
China juga memberlakukan tarif impor untuk produk anggur Australia.
China pun belakangan menuduh tentara Australia melakukan kejahatan perang di Afghanistan.
Juru bicara kementerian luar negeri China Hua Chunying, 2 Desember lalu, menuduh AS meluncurkan berbagai kampanye politik yang menyudutkan China.
Dia berkata, serangan itu bias ideologis dan merupakan strategi untuk menahan kemajuan China.
"Ada pepatah China ... 'mata melihat apa yang diyakini pikiran'," kata Chunying dalam konferensi pers hariannya.
"Kami berharap AS akan ... berhenti menganggap semua orang sebagai mata-mata," ujarnya.
Apa saja tuduhan Ratcliffe?
Ratcliffe berkata, fokus kerja komunitas intelijen AS kini bergeser dari Rusia dan isu terorisme ke China.
China, menurutnya, melakukan spionase ekonomi. Dia mencontohkan, perusahaan turbin angin China, Sinovel Windpower, diputus bersalah karena mencuri teknologi dari korporasi AS, yaitu American Superconductor.
Setelah pencurian itu, nilai saham American Superconductor jatuh.
Mereka juga melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal.
Ratcliffe menuduh, China mencuri kekayaan intelektual AS senilai US$ 500 miliar (Rp7.075 triliun) setiap tahun.
FBI, kata Ratcliffe, semakin sering menangkap warga negara China atas tuduhan mencuri hasil riset.
Dia juga merujuk tuduhan bahwa pemerintah China membayar seorang kepala departemen kimia di Universitas Harvard, bernama Charles Lieber, sebesar US$ 50.000 (Rp707 juta) setiap bulan.
Baca Juga: Waspadai Jika Mulai Merasa Populer, Hebat dan Lupa Diri, Kenali Ciri-ciri Star Syndrome!
Lieber ditangkap Otoritas AS awal tahun ini.
Ratcliffe menuduh badan intelijen China menyerang kerentanan teknologi AS. Tuduhan itu, salah satunya, diarahkan ke Huawei.
Dia berkata, sekutu AS yang menggunakan teknologi China enggan berbagi data dengan intelijen AS.
Ratcliffe juga menuding bahwa hasil telik sandi menunjukkan, China menggunakan manusia sebagai medium uji coba. Tujuannya, kata dia, mengembangkan tentara yang kemampuannya ditingkatkan secara biologis.
China disebutnya terlibat pula dalam "pencitraan besar-besaran" yang menargetkan anggota Kongres dan staf intelijen AS.
Strategi China, kata dia, mendorong serikat pekerja di perusahaan besar untuk membujuk politisi lokal mengeluarkan kebijakan 'lebih lembut' terhadap China. Jika itu tidak dituruti, tuduh Ratcliffe, sang politisi berpotensi kehilangan suara dari anggota serikat.
Beijing menjadikan anggota Kongres sebagai target, enam kali lebih besar dibandingkan fokus mereka ke Rusia dan 12 kali lebih tinggi daripada terhadap Iran, kata Ratcliffe.
Menurutnya, negara lain juga menghadapi situasi yang sama seperti AS.
"China yakin, tatanan global tanpa mereka sebagai pemimpin adalah penyimpangan sejarah," kata Ratcliffe.
"China bertujuan untuk mengubah sejarah itu dan membalikkan penyebaran kebebasan di seluruh dunia," tuturnya.
Bagaimana Gedung Putih Trump menangani China?
Di bawah Trump, AS meningkatkan konfrontasi dengan China di sejumlah bidang.
Kedua negara saling memberlakukan tarif barang satu sama lain senilai ratusan miliar dolar. AS dan China juga menerapkan kontrol ekspor untuk sejumlah produk.
Gedung Putih, Kamis (03/12), kembali memasukkan sejumlah perusahaan China ke daftar hitam korporasi yang mereka anggap berafiliasi dengan militer China.
Perusahaan itu adalah SMIC, CNOOC, China Construction Technology Co, dan China International Engineering Consulting Corp.
Awal tahun 2020, AS memerintahkan konsulat China di Houston untuk berhenti beroperasi karena khawatir lembaga itu melakukan spionase ekonomi.
China menanggapinya dengan memerintahkan AS menutup konsulatnya di kota Chengdu. Kedua negara juga saling mendeportasi jurnalis.
Hubungan AS dan China juga memburuk karena pandemi virus corona. Trump berulang kali menyebutnya sebagai "virus China".
Kebijakan China terhadap Hong Kong juga menjadi faktor lain dalam hubungan kedua negara.
Trump meneken perintah yang mengakhiri perlakuan istimewa AS untuk Hong Kong.
Langkah itu dilakukannya setelah China mengesahkan UU keamanan baru yang menurut AS mengakhiri otonomi Hong Kong.
AS juga menuduh China melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang "mengerikan dan sistematis" terhadap minoritas Muslim Uighur di wilayah Xinjiang.
Dalam persoalan ini, AS 'menerapkan sanksi' kepada beberapa politisi China.
China dituduh melakukan penahanan massal, penganiayaan atas nama agama, dan sterilisasi paksa terhadap Muslim Uighur.
China menyangkal semua tuduhan ini.
Akankah Joe Biden mengambil pendekatan yang berbeda?
Presiden terpilih Joe Biden, yang menjabat pada Januari 2021, diperkirakan akan melanjutkan kebijakan Presiden Trump dalam melawan China. Bedanya, Biden diyakini akan melakukannya bersama negara sekutu.
Ini akan menjadi kebijakan yang bertolak belakang dengan Trump, yang menerapkan kesepakatan perdagangan secara sepihak.
Terdapat ada kesepakatan antara Partai Republik dan Demokrat--hal yang sangat langka--agar AS bersikap keras pada China terkait perdagangan dan sejumlah isu, kata koresponden BBC di Gedung Putih, Tara McKelvey.
Pemerintahan Trump dapat memenangkan dukungan global untuk memboikot teknologi komunikasi China.
Namun Biden diprediksi akan lebih aktif mencari peluang kerja sama dengan China yang sedang bangkit, terutama di persoalan perubahan iklim.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengapa pejabat intelijen AS tuduh China 'ancaman terbesar' demokrasi?