Advertorial
Intisari-online.com -Pemilu AS yang dilaksanakan mulai pada 3 November tersebut akhirnya telah menelurkan hasil.
Karena dilaksanakan di tengah pandemi, maka pemilu AS dilaksanakan dengan cara pemilihan tidak langsung.
Warga AS menerima surat suara mereka kemudian mengisinya dari rumah mereka.
Surat suara tersebut kemudian dikirim melalui pos ke posko-posko perhitungan suara masing-masing negara bagian.
Inilah sebabnya hasil pemilu AS tidak segera kunjung keluar di hari pemungutan suara.
Serta, diperlukan beberapa hari tambahan untuk panitia pemilu menghitung surat suara yang masuk dan siapa saja yang mereka pilih.
Disebut dengan mail-in ballots, cara ini sebenarnya sudah dilaksanakan untuk kasus tertentu.
Contohnya untuk para tentara yang tidak sedang berada di AS ataupun warga AS yang memang tidak sedang berada di negara tersebut.
Namun karena saat pandemi virus Corona berkumpul di ruangan tertutup dengan jumlah banyak tidak disarankan, maka panitia pemilu memutuskan untuk lakukan cara ini.
Trump sempat menolak penggunaan cara ini, dengan menyebut akan ada kecurangan dalam hal ini.
Namun ia tidak memaparkan kecurangan apa yang ia maksudkan.
Kini, hasil pemilu tersebut sudah keluar, jumlah surat suara sudah mencapai 90% dari seluruh penduduk AS.
Kandidat demokrat, Joe Biden dan Kamala Harris berhasil mendapatkan electoral college lebih dari 270 suara.
270 merupakan angka keramat di pemilu AS, artinya jika pemilih kandidat presiden sudah lampaui itu maka otomatis dirinya akan menang.
Jika tidak, maka hasil pemilu AS akan dibawa ke Mahkamah Agung dan hakim ketua akan memutuskan siapa yang memimpin AS selanjutnya.
Kasus jumlah pemilih yang tidak mencapai 270 electoral college pernah terjadi saat pemilu presiden George W. Bush.
Setelah hasil pemungutan suara keluar, Trump semakin menjadi-jadi sebutkan jika ada kesalahan dalam pemilu tersebut.
Ia menyebutkan ada konspirasi bahwa banyak yang ingin menggulingkan dia dari Gedung Putih.
Kasus ini merupakan kasus pertama, seorang presiden AS tidak menerima kekalahannya dan ngeyel tidak ingin menyerahkan jabatannya kepada sosok yang sudah dipilih rakyat.
Donald Trump bisa diseret dari Gedung Putih, dan yang dimaksud diseret, benar-benar diseret.
Trump mungkin sedikit tidak tahu, bahkan jika ia menolak turun dari jabatannya, ia bahkan tidak akan menjadi Presiden AS.
Jabatan tersebut juga tidak akan jatuh ke wakil presidennya, Mike Pence.
Alih-alih untuknya, kursi presiden justru akan diamankan oleh sosok yang sering jadi sasaran amukan Trump ini.
Ialah ketua DPR AS, Nancy Pelosi, yang menjadi sosok urutan ketiga jika Trump dan Pence gugur.
Keguguran Trump dan Pence sudah jelas terjadi dari hasil pemilu ini.
Itulah sebabnya justru Nancy Pelosi yang akan terus maju dan duduk di kursi presiden.
Pelosi dan Trump memiliki hubungan yang khas.
Wanita dari partai Demokrat tersebut sering jadi olok-olokan Trump.
Pelosi sendiri juga tidak tunjukkan niat berbaik hati kepada Trump.
Pelosi menjadi sosok terkemuka yang mengajukan usulan pemakzulan presiden AS ke-45 tersebut.
Asosiasi Sejarah Gedung Putih menyebutkan, "tidak ada ketentuan konstitusional untuk memperpanjang masa jabatan.
"Jika tidak ada presiden yang dipilih pada 20 Januari 2021, garis suksesi menurut undang-undang dimulai, artinya ketua DPR akan naik ke kursi kepresidenan.
"Masa jabatan Wakil Presiden juga berakhir pada siang hari 20 Januari itu."
Sedangkan Pelosi yang baru saja menjabat menjadi ketua DPR sejak 2019 lalu masih akan berkuasa di waktu yang lama di DPR AS.
Banyak outlet yang memproyeksikan Biden kemungkinan besar akan berhasil berdasarkan hitungan saat ini, dan Wakil Presiden Program Berggruen Institute Nils Gilman mengatakan dia tidak dapat melihat Trump berpartisipasi dalam formalitas pendahulunya.
"Sulit membayangkan Trump dengan ramah menyambut Biden ke Gedung Putih pada pagi hari tanggal 20 Januari, kemudian melakukan perjalanan tradisional dengannya di Pennsylvania Avenue, lalu duduk di belakangnya di podium dan dengan sopan bertepuk tangan saat Biden dilantik," kata Gilman.
"Mengepalai perayaan seremonial kegagalan politiknya sendiri tampaknya bukan karakter Trump sama sekali."
Absennya Trump, menurut Gilman, tidak hanya akan memicu pertengkaran partisan, tetapi juga memperkenalkan preseden baru yang berbahaya bagi para pemimpin masa depan yang berpotensi tidak akan memahami perubahan tradisi seperti itu.
"Ini memang akan menjadi contoh lain tentang bagaimana Trump secara sistematis melanggar norma-norma yang memungkinkan pemerintahan yang tepat dan pembuatan kebijakan kooperatif.
"Dalam hal ini dengan memperdagangkan kinerja simbolis dari gagasan bahwa pemerintah AS adalah pemerintahan semua orang Amerika, bukan hanya pemerintah satu partai, "kata Gilman.
2020, tahun yang ditentukan oleh pandemi COVID-19, kerusuhan sipil, dan kekacauan ekonomi, dengan menyakitkan menunjukkan batas-batas untuk mengatakan "tidak pernah", dan membuka serangkaian wacana tentang sejumlah skenario hari kiamat.
Pelanggaran norma demokrasi untuk tujuan mayoritas satu partai termasuk skenario hari kiamat.
Faktanya, seorang petahana Trump yang tidak mau mundur telah dibayangkan oleh Gilman dan para ahli lainnya yang prihatin tentang potensi jeda dalam demokrasi Amerika Serikat yang sejauh ini tidak terganggu.
Awal tahun ini, Profesor Hukum Gilman dan Georgetown, Rosa Brooks, mendirikan Proyek Integritas Transisi, sebuah latihan yang melibatkan sekelompok individu bipartisan yang berpengalaman dari berbagai latar belakang pemerintahan, media dan akademis untuk menetapkan empat skenario untuk pemilu 2020.
Ini melibatkan Biden memenangkan suara elektoral dan populer dengan selisih yang sehat, Biden memenangkan dua metrik dengan selisih yang sempit, Trump memenangkan yang pertama tetapi kehilangan yang terakhir dan kasus yang terlalu dekat untuk panggilan di mana pemenang tidak ditetapkan pada hari berikutnya.
Tak perlu dikatakan lagi, skenario terakhir telah menjadi kenyataan, seperti halnya prediksi upaya luas oleh kampanye Trump dan media yang bersahabat untuk memperkuat narasi "pemilihan yang dicuri" dan "penipuan pemilih".
Terlepas dari upaya untuk membalikkan kemenangan saingannya melalui propaganda dan fitnah media sosial, para pejabat dan bahkan beberapa Partai Republik diam-diam mulai membahas dukungan Biden dan, pada saat presiden terpilih disertifikasi oleh anggota parlemen pada 6 Januari dan Hari Pelantikan tiba dua minggu kemudian, jelas bahwa Trump tidak lagi mendapat dukungan dari pemerintah AS.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini