Advertorial
Intisari-Online.com - Pecahnya konflik Nagorno-Karabakh pada 27 September mendorong diaspora Armenia di Jerman kembali pulang dan berlatih perang untuk membantu melawan pasukan Azerbaijan.
Aghasi Asatryan, salah satu ekspatriat yang berada ribuan kilometer jauhnya di Jerman, berkarir sebagai spesialis IT.
Melansir Reuters pada Kamis (29/10/2020), warga negara Armenia berusia 29 tahun itu segera mengajukan libur bekerja, dengan alasan masalah keluarga, dan terbang kembali ke Yerevan, kota kelahirannya.
Di lereng bukit di atas ibu kota Armenia, ia memulai latihan tempur di sebuah kamp yang didirikan oleh para veteran perang sebelumnya di Nagorno-Karabakh.
Nagorno-Karabakh adalah daerah pegunungan yang dikendalikan oleh etnis Armenia, tetapi diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
“Rencana saya adalah bersiap-siap dan pergi ke garis depan,” kata Asatryan.
Di bahunya tersampir salinan kayu dari senapan serbu AK-47, alat bantu pelatihan yang diberikan kepada setiap sukarelawan di kamp.
Lebih dari 1.000 orang tewas dalam sebulan bentrokan di Nagorno-Karabakh, yang dianggap Azerbaijan diduduki secara ilegal.
Baca Juga: Sampai Punya 28 Anak, Terkuak Pria Ini Punya 120 Istri, Menikah di Tiap Tempat yang Dikunjungi
Azerbaijan menolak langkah apa pun untuk membiarkan orang-orang Armenia memegang kendali di Nagorno-Karabakh.
Sementara, Armenia menganggap wilayah itu sebagai bagian dari tanah air bersejarahnya dan mengatakan penduduk di sana membutuhkan perlindungannya.
Asatryan pindah ke Jerman 7 tahun lalu sebagai pelajar, menghindari wajib militer.
Dia tidak pernah bertugas di ketentaraan atau tidak memegang senjata sebelumnya dan mengatakan dia tidak bisa memberitahu atasannya bahwa dia akan pulang untuk berperang "Bos saya di Jerman tidak akan memahami orang yang ingin berperang," katanya.
“Namun, saya tahu bahwa kami, orang-orang Armenia, tidak akan bertahan selama berabad-abad tanpa memahami bahwa setiap orang harus berjuang untuk tanah airnya,” ujarnya.
Asatryan adalah salah satu dari ratusan relawan dari Argentina dan Amerika Serikat yang telah bergabung dengan VOMA Survival School dalam beberapa pekan terakhir.
Pendirinya, Vova Vartanov, yang bertempur dalam perang 1991-1994 di Nagorno-Karabakh, di mana sekitar 30.000 orang tewas.
Dia telah kembali ke garis depan sebagai pemimpin batalion sukarelawan saat perang meledak lagi di tanah airnya pada 27 September.
Melansir laporan Reuters terdapat puluhan pria dan wanita di kamp tersebut, dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendapatkan pelajaran tentang cara menggunakan granat tangan dan menangkis serangan senjata.
Beberapa relawan sedang berlatih panjat tebing dengan menggunakan tali dan tembok beton tempat pembuangan sampah.
Sebelum pertempuran terakhir meletus pada 27 September, sekolah tersebut menarik 20 hingga 30 orang sekaligus untuk pelatihan dalam kesiapan perang baru.
Salah satu instruktur, Karapet Aghajanyan, mengatakan "ratusan" dari diaspora Armenia kini telah datang.
Kementerian pertahanan Armenia mengatakan pada Oktober, bahwa sekitar 10.000 orang secara sukarela mengangkat senjata pada hari pertama pertempuran.
Kementerian pertahanan Azerbaijan mengatakan 55.000 sukarelawan terdaftar antara 12 Juli dan 22 Juli setelah bertempur terjadi di wilayah lain.
Dikatakan bahwa informasi tentang relawan yang lebih baru dirahasiakan.
Knarik Karaminasyan, seorang guru bahasa Inggris berusia 21 tahun dari Yerevan, memutuskan untuk bergabung dengan relawan segera setelah dia mengetahui bahwa wanita diterima dan dapat dikirim ke garis depan sebagai pekerja medis atau juru masak.
“Awalnya sulit dan saya bahkan mengalami mimpi buruk,” kata Karaminasyan.
Sekarang dia merasa lebih nyaman.
"Di sini, saya merasa lebih baik daripada di rumah, di mana saya baru saja menelusuri Facebook, membaca berita dan panik...Sekarang saya merasa bahwa saya sedang bersiap untuk sesuatu yang penting."
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dengan Tali dan Senjata Kayu, Diaspora yang Pulang ke Armenia Berlatih Perang"