Advertorial
Intisari-Online.com - Serangkaian serangan aksi terorismeesktrem telah mengguncang Prancis.
Yang terbaru, di sebuah gereja di Nice, menewaskan tiga orang.
Ini terjadi hanya dua minggu setelah seorang guru dipenggal kepalanya di pinggiran kota Paris setelah ia memajang kartun Nabi Muhammad di ruang kelasnya.
Mengapa Prancis menjadi sasaran serangan aksiterorisme selama berulang kali oleh ekstremis brutal?
Dilansir dari politico.eu pada Minggu (1/11/2020), Jerman, Inggris, Italia dan bahkan Denmark, tempat kartun kontroversial Muhammad pertama kali diterbitkan. belum melihat kekerasan yang sebanding.
Alasannya sederhana.
Yaitu bentuk sekularisme Prancis yang ekstrem danaksi penistaan agama yang telah memicu radikalisme di antara minoritas yang terpinggirkan.
Secara khusus, babak kekerasan terbaru ini mengikuti keputusan awal bulan ini oleh surat kabar satir Charlie Hebdo untuk menandai dimulainya persidangan atas serangan pembunuhan di ruang redaksi pada tahun 2015 dengan menerbitkan ulang kartun menghujat Muhammad yang mendorong serangan asli.
Dua hal ini,sekularisme radikal dan radikalisme agama, telah terlibat dalam tarian mematikan sejak saat itu.
Secara tradisional, sekularisme Prancis mengharuskan negara bersikap netral dan menyerukan penghormatan terhadap agama di ruang publik.
Ini dilakukan untuk menghindari munculnya intoleransi agama.
Namun, di zaman modern ini, ini telah menjadi sesuatu yang jauh lebih ekstrem.
Sekularisme moderat yang berlaku hingga tahun 1970-an telah diganti dengan sesuatu yang lebih seperti agama sipil.
Ini adalah sistem kepercayaan yang memiliki pendetanya sendiri (menteri pemerintah), pausnya (presiden republik), pembantunya (intelektual) dan bidatnya (siapa pun yang menyerukan sikap yang kurang antagonis terhadap Islam ditolak).
Salah satu ciri yang menentukan dari sekularisme baru ini adalah promosi penistaan agama.
Dan khususnya, ekspresi ekstremnya dalam bentuk karikatur seperti yang dilakukan kepada Nabi Muhammad.
Kondisi ini lantas 'dipamerkan'secara penuh setelah pembunuhan guru yang mempertunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelasnya.
Saat itu, banyak intelektual Prancis memuji penistaan agama dan membela pembelaan tegas pemerintah atas hak kebebasan berekspresi.
Padahal mereka seharusnya mempertimbangkan kata-kata mereka dengan lebih hati-hati.
Di Eropa Barat, hak penistaan diakui secara hukum.
Namun melindungi kebebasan untuk menghujat adalah satu hal dan yang lain dengan antusias mendesak penistaan, seperti yang terjadi di Prancis.
Para pembela penistaan agama meminta kebebasan berekspresi.
Tetapi apa yang dilakukan penistaan, pada kenyataannya, adalah menjebak Prancis dalam lingkaran setan.
Sehingga terjadi aksi terorisme jihadis.
Penggunaan karikatur yang tidak bersahaja atas nama hak untuk menghujat pada akhirnya merusak debat publik.
Hasilnya adalah siklus berbahaya.
Seperti provokasi, kontra-provokasi, dan kemerosotan masyarakat.K
Jadi, jangan heran. Ketika sekularisme Prancis menjadi radikal, jumlah serangan jihadis di negara itu berlipat ganda.
Padahal akibatnyaorang-orang yang tidak bersalah sedang sekarat.
Misalnya ketika umat Muslim di seluruh dunia menolak nilai-nilai Prancis dan memboikot produk-produk negara tersebut.
Lalu umat Muslim Prancis menghadapi pembatasan kebebasan berekspresi.
Dan Prancis pun membayar mahal untuk sekularisme fundamentalisnya, baik di dalam maupun di luar perbatasannya sendiri.