Advertorial

Masuk Daftar Rilis Baru-baru ini, Indonesia Terungkap Menjadi 10 Negara dengan Pendapatan Terkecil dan Utang Terbanyak di Dunia, ini Detailnya

Tatik Ariyani

Editor

Intisari-Online.com - Pada 12 Oktober 2020, Bank Dunia merilis laporan berjudul Interational Debt Statistics (IDS).

Di dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia masuk dalam daftar 10 negara berpenghasilan kecil menengah dengan hutang luar negeri terbesar di dunia.

Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa utang luar negeriIndonesia menunjukkan tren yang meningkat sepanjang tahun.

Utang luar negeri Indonesia naik menjadi 402,08 miliardollar AS atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775 per dollar AS) pada 2019, dari 179,4 miliardollar AS yang tercatat 10 tahun sebelumnya.

Baca Juga: Ini Sejumlah Hal yang Disiapkan Pentagon Menyambut Kedatangan Menhan Prabowo Subianto, Apa Saja?

Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.

Tahun lalu, utang jangka panjang mencapai 354,54 miliar dollar AS sedangkan utang jangka pendek hanya mencapai 44,79 miliar dollar AS.

Bank Dunia mencatat bahwa utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di seluruh dunia mencapai 8 triliun dollar AS pada 2019.

Angka tersebut meningkat 5,4 persen dari tahun sebelumnya.

Baca Juga: Gawat, WHO Sebut Kasus Kematian Akibat TBC di Indonesia Bisa Naik Drastis di Tahun Mendatang, Apa Sebabnya?

Tanggapan Pemerintah

Meski demikian, pemerintah menilai tingkat utang tersebut berada dalam kondisi yang aman.

Staf khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin, menyatakan utang pemerintah Indonesia dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel.

“Bu Sri Mulyani dikenal prudent dalam menjaga fiskal kita, sehingga risiko yang ada masih manageable dan terjaga,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (15/10/2020).

Menurut Masyita dalam 4 tahun terakhir, kebijakan fiskal diarahkan untuk mengurangi angka defisit anggaran, sudah sangat mendekati angka positif di tahun ini, sebelum pandemi terjadi.

Menurut dia, jika ingin membandingkan tingkat ULN suatu negara perlu diperhatikan pula tingkat Produk Domestik Bruto (PDB).

"Berbanding dengan pendapatan domestik bruto (PDB) porsi hutang Indonesia hanya 35,8 persen per Oktober 2019.

Baca Juga: Jus Daun Ketumbar Mujarab untuk Pasien Ginjal, Tapi Awasi Hal Ini

Selain itu, ULN kita juga jangka panjang membuat risiko fiskal kita untuk membayar kewajiban masih manageable,” jelas Masyita.

Selain itu, kebijakan ULN tidak dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang berdiri sendiri.

Negara yang sedang membangun memiliki nilai Investasi yang lebih tinggi dari tingkat Savingnya, atau dikenal sebagai Saving-Investment Deficit.

Dalam hal ini perbedaannya ditutup dengan ULN.

"Sepanjang return terhadap investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan biaya bunga, maka sebuah negara akan mampu membayar kembali," ujar dia.

Dia menambahkan, ULN Indonesia sebelum pandemi digunakan untuk membiayai proyek-proyek strategis, dengan tujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan di seluruh pelosok.

Reformasi struktural ekonomi tersebut dilakukan untuk memperkuat ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Baca Juga: Miliki 12.156 Kasus Kematian, Indonesia Tempati Urutan ke-17 Sebagai Negara dengan Kasus Kematian Tertinggi Akibat Covid-19

"Namun, sustainability ULN perlu dijaga, dan ini bergantung pada kemampuan membayar lagi, potensi penerimaan dalam negeri dan potensi pertumbuhan ekonomi. Selain itu ada pula pertimbangan yang lebih mengarah ke debt management seperti proporsi utang valas dan ATM," jelas dia.

Dari keseluruhan jumlah ULN, sebagian besar atau 88,4 persen merupakan utang jangka panjang.

Ini membuat risiko fiskal Indonesia jangka panjang juga masih terjaga karena beberapa alasan.

Pertama, porsi utang valas yakni 29 persen per 31 Agustus 2020 masih terjaga sehingga resiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik.

Kedua, profil jatuh tempo utang kita juga cukup aman dengan average time maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augstus 2020) dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun di tahun 2018 dan 2019.

“Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukannya strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” tambahnya.

Baca Juga: Petugas Medis di Indonesia Banyak yang Berguguran, 2.479 Perawat Terkonfirmasi Positif Virus Corona, 100 di Antaranya Meninggal Dunia

Mutia Fauzia

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Utang Luar Negeri RI 10 Besar di Dunia, Ini Kata Staf Khusus Sri Mulyani"

Artikel Terkait