Advertorial
Intisari-Online.com - Kemerdekaan Timor Leste memberikan keuntungan bagi negara tetangganya Australia.
Setelah Timor Leste mendapatkan kemerdekaannya melalui referendum, terbuka negosiasi Celah Timor antara Bumi Lorosae dan Australia.
Celah Timor adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kawasan perairan antara Pulau Timor dan Australia.
Wilayah maritim tersebut memiliki kandungan minyak dan gas di dalamnya.
Dalam negosiasi Celah Timor, diyakini Australia berusaha mendapatkan hasil yang lebih menguntungkan.
Bahkan, dilansir dari Greenleft.org.au, Seorang warga Australia, Bernard Collaery, yang dikenal sebagai pendukung hukum Timor Leste membuka rahasia negaranya yang tak semestinya bocor.
Bernard Collaery mengatakan, bahwa di pihak pemerintah Australia secara berturut-turut mereka telah mengincar dan mencuri sumber daya negara itu secara ilegal dan tak bermoral.
Secara terbuka dia telah menunjukkan borok Australia yang selalu memandang Bumi Lorosae sebagai obyek pasif.
Menurutnya tindakan Australia menjadikan Timor Leste sebagai obyek sapi perahan adalah nyata.
Negeri itu dirampok habis-habisan dari sumber daya petrokimia, baik untuk rezim buruh maupun liberal.
Meski begitu, Australia justru sesumbar mengeklaim perannya sebagai 'pahlawan' bagi Bumi Lorosae.
Hal itu berkaitan dengan pasukan Interfet pimpinan Australia, yang berperan mengatasi krisis kemanusiaan dan keamanan Timor Leste sekitar tahun 1999-2000.
Melalui artikel berjudul 'Australia cast itself as the hero of East Timor. But it was US military might that got troops in', seorang jurnalis bernama Paul Daley menentang klaim tersebut.
Paul Daled merupakan koresponden luar negeri dan pertahanan yang berbasis di Canberra yang pada Agustus 1999 melaporkan untuk Sunday Age.
Melansir The Guardian (30/8/2020), Menurut Daled, sangat jelas gerakan diplomatik dan militer Australia sebelum dan sesudah pemungutan suara otonomi Timor.
Menurutnya, John Howard menunjuk pada dua momen penting dari masa jabatan perdana menteri yang paling dia banggakan, yaitu tanggapan terhadap pembantaian Port Arthur tahun 1996 dan peran Australia di Timor Leste.
"Setelah kekerasan berkurang, dan ketika Timor Leste mulai memerintah dirinya sendiri, Australia telah menjadikan dirinya sebagai pahlawan Timor Lorosa'e," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa pasukan Interfet yang dipimpin Australia, dengan cakap dipimpin oleh gubernur jenderal, Peter Cosgrove, sangat kontras dengan militer Indonesia (TNI), yang secara moral bertindak sebagai milisi pro-integrasi di provinsi.
Namun, kenyataan yang terjadi tidak demikian. Justru Australia sangat ingin menghindari penempatan pasukan penjaga perdamaian militer.
"Kenyataannya adalah bahwa sepanjang 1999, ketika ketegangan terus meningkat di Timor Lorosa'e setelah Presiden Indonesia BJ Habibie mengumumkan tindakan penentuan nasib sendiri, Australia sangat ingin menghindari penempatan pasukan penjaga perdamaian militer dan ingin menenangkan diri," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa militer Amerika Serikat-lah yang memiliki peran dalam masa tersebut.
Daled mengungkapkan bahwa serangkaian dokumen yang dirilis oleh proyek Indonesia dan Timor Lorosa'e yang berbasis di AS lebih jauh menjelaskan apa yang selalu ditunjukkan oleh analisis subversif.
"Pemerintah federal kita sangat ingin mengecilkan perbedaannya yang sebenarnya dengan AS sepanjang 1999 tentang perlunya penempatan penjaga perdamaian dini untuk mengakhiri kekerasan yang diantisipasi," katanya.
"Pada akhirnya juga mengandalkan ancaman kekuatan militer Amerika untuk mendapatkan Jakarta agar mengizinkan Interfet yang dimandatkan PBB ke Timor Lorosa'e," lanjutnya.
Hal lain yang diungkap dokumen tersebut yaitu bahwa menteri Australia, termasuk Howard dan menteri luar negeri saat itu, Alexander Downer, menolak anggapan bahwa TNI mengatur kekerasan, dengan menyatakan bahwa hanya 'elemen liar' atau 'elemen nakal' yang terlibat.
"Sejauh itulah Australia akan membantu Jakarta menyelamatkan muka, untuk melindungi hubungan bilateral (Australia) yang berharga dengan Indonesia," tulisnya.
Dokumen-dokumen tersebut juga menyoroti realpolitik di balik upaya Washington untuk menjaga hubungan militer dengan Indonesia, terlepas dari pengetahuan terperinci tentang kekerasan yang diatur TNI dan masalah hak asasi manusia di Kongres.
"Sebagai koresponden luar negeri dan pertahanan yang berbasis di Canberra, pada 1 Agustus 1999 saya melaporkan untuk Sunday Age bagaimana para pejabat Australia pada awal tahun itu membicarakan tawaran AS untuk misi penjaga perdamaian awal (untuk menghindari kekerasan yang akhirnya terjadi), mungkin melibatkan Marinir ," katanya.
Menurutnya, setelah ketegangan pra-pemungutan suara meningkat, prioritas menteri luar negeri Australia di Canberra adalah mengelola rasa malu atas segala saran keretakan AS-Australia dalam pemeliharaan perdamaian atau apa pun.
Baca Juga: Nyaris 2 Kali Dirudupaksa, Wanita Penjual Gorengan Ini Akhirnya Berhasil Kabur dengan Cara Ini
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari