Advertorial
Intisari-online.com -Jepang semakin ke sini semakin sadar jika mereka tidak bisa mengandalkan Amerika Serikat saja.
Lebih-lebih dengan China yang semakin asertif, Korut yang memperkuat diri dengan senjata nuklir dan AS yang tidak bisa dipercaya.
Ini sebabkan Jepang mulai membangun senjata militernya yang baru.
Mengutip National Interest, kebijakan pertahanan negara dengan misil bisa menggoyang seluruh Asia terutama Asia Timur.
Ini sebabkan munculnya kekhawatiran yang selama ini terpendam dalam masing-masing sanubari warga Asia, mengingat betapa pilunya Perang Dunia II lalu.
Kebijakan dadakan dari Jepang ini disinyalir muncul setelah Yoshihide Suga menggantikan Shinzo Abe menduduki kursi Perdana Menteri Jepang.
Sembari AS dibingungkan karena peperangan melawan virus Corona, protes yang tumpah ruah ke jalan, kekerasan lokal dan kampanye presiden, belahan dunia lain juga sibuk dengan yang lain.
Dikabarkan Suga merevisi kebijakan pertahanan negara menggunakan misil.
Hal tersebut meningkatkan prospek ketegangan regional, destabilisasi dan tentunya konflik.
Dan, Washington kembali digadang-gadang sebagai satu-satunya pihak yang bisa hentikan Jepang.
Pasalnya, Washington memang memiliki kepentingan agar Asia-Pasifik tenang, sehingga ancaman dari China seharusnya tidak perlu ditambah.
Perjanjian Keamanan
Sejak 1951 dan ditandatanganinya Perjanjian Keamanan Bersama, Jepang bergantung kepada AS terkait keamanan negara.
1960 terjadi revisi dari perjanjian yang asli, parlemen Jepang dan pemerintahnya memutuskan sebuah prinsip "kebijakan eksklusif berfokus pada pemerintahan."
Persekutuan baru pun lahir: AS akan gunakan pangkalan militer di Jepang untuk lindungi Jepang dan terapkan kekuatan militer mereka secara global.
Sementara Jepang menyediakan dukungan pemilik rumah dan fokus melindungi teritorinya sendiri.
Sejak Uni Soviet runtuh, ancaman misil dari Korea Utara dan China meningkat.
Jepang menghadapi hal-hal tersebut lewat persekutuannya dengan AS.
Jepang sendiri juga membangun sistem pertahanan misil yang dibuat bekerja di darat dan di laut.
AS, sementara itu, membantu Jepang mempertahankan dengan kemampuan menyerangnya untuk menghukum negara lain yang menyerang Jepang.
Keamanan kemudian terjamin dengan kombinasi 'tombak AS dan perisai Jepang'.
Namun, beberapa tahun belakangan ini situasi geostrategi Jepang memburuk terus-menerus.
China semakin asertif, dan Korea Utara tidak berhenti mengembangkan senjata misil dan nuklir mereka.
Jepang kemudian fokus dalam memperkuat perisai mereka melawan ancaman rudal dan misil.
Akhir tahun 2017, Tokyo memperkenalkan aset pertahanan misil baru yaitu Aegis Ashore.
Juni tahun ini, pemerintah menunda peluncuran pelindung itu karena terkendala biaya dan kekhawatiran keamanan bagi warga lokal.
Penolakan ini memicu debat baru mengenai kebijakan pertahanan Jepang, dan para pembuat kebijakan sadar jika misil yang mereka miliki sekarang tidak cukup untuk lindungi negara mereka.
Walaupun opsi memperkuat sistem pertahanan misil mereka masih ada, termasuk membangun kapal yang khusus untuk misi pertahanan ini, alternatif lain mulai dilirik pejabat Jepang: pembuatan senjata tempur sendiri.
Partai Liberal Demokrat mengusulkan hal ini Agustus lalu untuk mempertimbangkan kepemilikan rudal balistik dan misil lain di teritori musuh.
Mantan Perdana Menteri Abe, meski tidak menyebutkan kemampuan serangan rudal balistik tersebut, umumkan beberapa hari lalu jika kebijakan pertahanan misil akan dikuak akhir tahun ini.
Dengan ini, Tokyo mungkin tidak hanya lindungi diri dengan perisai semata. Mereka mungkin sudah punya tombak sendiri.
Mengingat sejarah, tentunya tidak ada yang mau membangunkan singa yang tidur, demikian pula tentunya tidak ada yang ingin Jepang memiliki rudal balistiknya sendiri, karena bisa sebabkan muncul ketegangan baru yang mungkin lebih parah daripada Perang Dunia II.
Dampak lainnya adalah hubungan Tokyo dengan Washington, jika benar akan dilakukan, Trump akan mengira Tokyo mengingkari perjanjian 'tombak AS dan perisai Jepang'.
Hal ini juga menjadi ancaman sendiri bagi AS, bahwa Jepang sudah mengurangi bertindak tanpa perhitungan.
Jika Jepang mendapat kapasitas untuk menyerang teritori musuh, Washington justru hanya terperangkap di antaranya dan tidak memiliki daya sama sekali.
Kekhawatiran lainnya adalah, jika Jepang ingin menyerang, tentunya diperlukan latihan militer dan koordinasi antara pemerintah, menteri pertahanan dan menteri luar negeri.
Jepang sudah tidak memiliki pengalaman itu sama sekali sejak 1945 setelah mereka kalah di Perang Dunia II, sehingga kemungkinan kerusuhan tak terkendali tidak bisa diprediksi.
AS harus bisa buktikan mereka sekutu yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini, dan kembali menidurkan singa yang telah tidur selama 75 tahun.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini