Advertorial
Intisari-Online.com- Negara-negara di Timur Tengah dulunya terkenal solid
Misalnya ketikaMenteri Luar Negeri Alexander Haig menciptakan "konsensus strategis" pada hampir 40 tahun lalu.
Di mana"konsensus strategis" itu terjadi antara Arab Saudi, Yordania, Israel, Turki, Pakistan, dan Irakdengan melawan musuh bersama, yaitu Uni Soviet.
Tapi rencana Haig tidak berhasil.
Walau begitu, negara-negara Arab, yang menjadi tumpuan rencana itu, terus mematuhi “three no’s” yang diumumkan Liga Arab di Khartoum setelah Perang Enam Hari 1967.
Seperti dilansir darinationalinterest.orgpada Senin (7/9/2020), saat itu, tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, dan tidak ada negosiasi dengannya.
Tapi semua berubah ketika Mesiryang dipimpin Presiden Anwar Sadat berdamai dengan Israel pada 1979.
Akibatnya Liga Arab mengusirMesir dari anggota.
Selama beberapa dekade, terutama setelah Perjanjian Oslo 1993 antara Israel dan Otoritas Palestina, para ahli Timur Tengah berpendapat bahwanegara-negara Arab akan terus mematuhi “three no’s”.
Sampai ada kesepakatan dua negara yang akan mengembalikan Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur ke Palestina.
Hanya saja, waktu terus berjalan dan semuanya mulai berubah.
Kini, negara-negara Arab punyai versi terbarudari strategi "konsensus" Haig.
Di mana ini merupakan pandangan yang disepakati oleh para ahli.
Misalnya ketika Mesir diterima kembali di Liga Arab pada tahun 1989 dan ketika Liga tersebut tidak mengambil tindakan terhadap Yordania pada tahun 1994 ketika mereka menandatangani perjanjian damai dengan Israel setelah Oslo.
Alasannya sederhana, para ahli takut terjadi pemberontakanterhadap para penguasanya karena alasan ekonomi.
Mereka punya bukti soal pemberotakanbisa menjungkirbalikkan pemerintah.
Misalnya kasus Ben Ali dari Tunisia dan Ali Abdullah Saleh dari Yaman, atau menyebabkan perang saudara yang berlanjut di Yaman dan Suriah.
Pada awal 2000-an, para ahli yang telah lama memusatkan perhatian pada konflik Israel-Palestina, mengatakan itu sebagai krisis sentral di Timur Tengah.
Ditambah kedatangan Amerika Serikat yang membuat perang itu semakin rumit.
Tapi kini, mereka melihat konflik itu sebagai kondisi untuk strategi “luar-dalam” menjadi jauh lebih baik.
Sehingga untuk pertama kalinya, Palestina hampir jadi tontonan Timur Tengah.
Belum lagi ada faktapengakuan Amerika Serikat atas aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Ada juga kekhawatiran yang disuarakan oleh pemerintah Arab terhadap pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dan dalam kedua kasus tersebut, sudah tidak ada jalan bagi Palestina.
Walau sudah ada protes dari Palestina, UEA tetap menandatangani perjanjian normalisasi yang melanggar jalan dengan Israel.
Lalu ketika Liga Arab menolak permohonan Palestina untuk mengutuk UEA atas perjanjian itu.
Dan ketika Arab Saudi secara terbuka mengizinkan pesawat El Al melintasi wilayah udaranya.
Terakhir, ketika Bahrain mengumumkan akan melakukan hal yang sama.
Sekarang tampaknya dukungan terkuat untuk penolakan Palestina tidak berasal dari dunia Arab.
Melainkan dari elemen sayap kiri di Barat, khususnya para intelektual, akademisi, dan pembantunya.
Dengan begini, para pemimpin Palestina harus menyadari bahwa waktu telah berubah.
Bahwa mereka tidak dapat mengandalkan negara-negara Arab lainnya ataupun bantuan dari Liga Arab untuk melawan Israel.
Jika mereka benar-benar serius tentang perdamaian demi rakyatnya, maka mereka harus mau melakukan pembicaraan dengan kepala dingin dengan Israel.
(Mentari DP)