Advertorial
Intisari-Online.com - Perang Israel dengan negara-negara Arab, diantaranya Mesir, Yordania, dan Suriah, pada tahun 1967, merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah.
Peristiwa tersebut juga dikenal sebagai Perang Arab-Israel atau Perang Enam Hari.
Salah satu sosok yang terkenal dalam peperangan itu adalah Saad el Shazly.
Sebagai komandan pasukan tempur Mesir, Jenderal Saad el Shazly memiliki keistimewaan.
Ia merupakan sosok yang sudah kenyang makan asam garam kemiliteran di Timur Tengah.
Ia bahkan pernah menorehkan tinta emas lewat kegemilangannya menghancurkan pasukan Israel dalam Perang Enam Hari pada 1967.
Dari sisi kelulusan Akademi Militer, Shazly termasuk yunior di antara petinggi-petinggi militer Mesir rezim Anwar Saddat berkuasa.
Ia lahir pada 1922, di sebuah tempat delta Sungai Nil, sekitar 100 km dari Kairo.
Karir kemiliteran Shazly dimulai dari pasukan elit Pengawal Kerajaan yang digelutinya sampai 1948.
Ia kemudian ikut terlibat dalam Perang Arab-Israel sebagai komandan tempur pasukan elit.
Karir milliter Shazly terus berlanjut dan banyak meraih prestasi.
Salah satunya, ia berhasil membentuk dan menjadi komandan pertama dari batalyon lintas udara Mesir pada 1954.
Dengan pasukannya ini pula bintang Shazly makin bersinar terang.
Dalam suatu pertempuran di Gurun Sinai, pada Perang Enam Hari. Shazly bersama pasukannya berhasil menahan gerak maju pasukan Israel di tengah-tengah Gurun Sinai.
Di bawah hujan peluru pasukan Israel, Shazly berhasil menarik pasukannya kembali ke Mesir tanpa kerugian yang berarti sehingga masih siap untuk bertempur kembali.
Padahal waktu itu hampir seluruh pasukan Mesir lainnya kocar-kacir dihajar pasukan Israel.
Namun, seperti juga rekan-rekannya sesama komandan militer, setelah perang dia dipinggirkan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser.
Shazly tercatat pernah menjadi atase pertahanan di London.
Pada era Anwar Saddat berkuasa, Shazly ditarik kembali menjadi Kepada Staf AD Mesir (1971).
Bersama-sama kepala staf angkatan lainnya, ia merencanakan penyerbuan kembali ke Israel yang kemudian dilaksanakan dalam bentuk Perang Yom Kippur.
Baca Juga: Tergiur Emas Antam Murah di Facebook, 300 Orang Tertipu, Kerugian Mencapai Miliaran Rupiah
Namun setelah perang, karir militernya dihentikan oleh Anwar Saddat yang lebih memilih pendekatan damai dengan Israel.
Ia kembali ditugaskan ke luar negeri menjadi duta besar di Inggris dan kemudian di Portugal.
Perseteruannya dengan Saddat makin mencuat saat perjanjian Camp David ditandatangani Saddat.
Ia ternyata termasuk salah seorang perwira AD Mesir yag berani menolak penandataganan itu. Saddat bergeming.
Tapi akibatnya, Saddat memilih menyingkirkan jenderal brilian yang termasuk pahlawan Perang Yom Kippur itu ke pengasingannya di Aljazair.
Di pengasingan, Shazly menulis buku tentang pertempuran pasukan Mesir-Israel di Terusan Suez, The Crossing of The Suez yang kemudian diterbitkan pada 1978.
Dalam buku ini Shazly mengeritik keras kebijakan Saddat yang tidak menghargai berbagai pertempuran antara Mesir melawan Israel.
Akibat penerbitan buku ini, dalam sidang yang in absentia (tanpa dihadirinya), Shazly dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Lewat buku ini ia dinilai terbukti menyebarkan salah satu rahasia negara.
Ia juga dinyatakann bersalah telah menerbitkan buku tanpa izin.
Shazly kembali ke Mesir pada 1992, namun langsung ditangkap tak lama setelah menjejakkan kakinya di bandara.
Baca Juga: Seorang Pemuda India Bunuh Diri Gara-gara Kecewa Game PUBG Mobile Diblokir
Shazly kemudian langsung dijebloskan ke Penjara.
Meski demikian, bukunya sudah terlanjur tersebar luas dan termasuk buku best seller.
Pada tahun 2003, The Crossing of the Suez dirilis ulang dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, serta beberapa bahasa Arab setempat sehingga nama Shazly pun makin bersinar. (Ade S)
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini