Advertorial
Intisari-online.com -Persaingan AS dengan salah satu rival terkuatnya China sepertinya telah merambah hampir banyak sektor.
Mengutip South China Morning Post, AS di awal tahun ini memiliki keunggulan tipis di depan China dalam hal teknologi kecerdasan buatan (AI).
Hal itu dikarenakan AS lebih unggul dalam sektor semikonduktor.
Namun, Beijing mulai giat membangun dan fokus kembangkan teknologi AI.
Perkembangan itu dikombinasikan dengan populasi negara China yang terus bertumbuh lama-lama bisa membuat AS tersaingi.
Setidaknya itulah yang disampaikan oleh think tank politik AS, Rand Corporation.
"Industri semikonduktor yang kuat adalah dasar penting untuk penelitian AI yang solid dan bagus," ujar laporan dari Rand Corporation.
Mereka tambahkan juga jika China mengejar industri semikonduktor dengan investasi pemerintahan yang gila-gilaan.
"Ini membuat AS harus bersiap-siap dan tidak boleh berpuas diri, karena kalau tidak AS bisa dibalap begitu saja oleh China."
Studi yang dipimpin oleh Angkatan Udara AS itu dilakukan setelah Beijing membongkar rencana ambisius tiga tahun lalu untuk menjadi pemimpin teknologi AI di dunia tahun 2030 mendatang.
Studinya membandingkan strategi dan kekuatan teknologi AI dari kedua negara baik untuk tujuan umum dan militer.
Militer AS menerima hasil laporan awal tahun 2019, tapi baru dibuka ke publik bulan kemarin.
China mungkin ketinggalan dari AS untuk urusan lingkungan inovasi yang umum, seperti sistem hukum dan kebebasan jurnalisnya.
Namun, dalam studi itu tercatat jika mereka memiliki keunggulan besar untuk urusan data-data besar, yang penting untuk pengembangan aplikasi AI.
China unggul karena populasi China sebanyak 4 kali daripada populasi AS.
Artinya, firma teknologi dapat menarik database lebih besar di China daripada di AS.
Baca Juga: Ini Dia Obat Penurun Panas Alami untuk Obati Karena Virus dan Pilek
Laporan Rand juga mengidentifikasi kelanjutan kepemimpinan politik dan keseluruhan pendekatan rezim China yang berikan keunggulan untuk China atas AS dalam perkembangan AI.
Hal ini karena rezim politik China memungkinkan "pemusatan sumber daya dan saling fokusnya semua untuk berupaya" walaupun dikatakan jika hal ini bisa gagal karena birokrasi dan korupsi.
Senin kemarin, Presiden China Xi Jinping mengatakan para akademisi di Beijing jika pertumbuhan baru yang didorong oleh inovasi teknologi akan menjadi bagian penting rencana ekonomi jangka panjang negara tersebut.
"Kita harus tingkatkan keuntungan sistem sosialis kita dalam memusatkan sumber daya untuk menyelesaikan semua hal dengan cepat, dan mencapai keunggulan di teknologi yang tepat untuk saat ini," ujar Xi dikutip dari media pemerintah.
Meski Beijing telah kurangi program "penggabungan militer-sipil" yang mana AI memerankan peranan penting, pemerintah telah mensponsori aplikasi AI di area lain, seperti di perkembangan infrastruktur, kesehatan dan keamanan lokal.
"Pastinya prospek jangka panjang dalam mempertahankan keunggulan di depan militer China, bergantung pada kemampuan AS untuk menjaga keunggulannya di bidang AI di level nasional," tulis laporan Rand.
Laporan itu tambahkan juga bahwa jika rencana AI China berhasil, Hina akan menerima keuntungan militer lebih besar dari AS dan sekutunya, yang sebabkan dampak strategi negatif untuk AS."
Tidak tanggung-tanggung, China juga telah lakukan kolaborasi antara China dan akademisi asing.
Hal ini hasilkan peningkatan tinggi publikasi gabungan mengenai penelitian AI yang bisa diakses oleh AS.
Banyak ilmuwan yang ahli di bidang ini tetap menjaga hubungan baik dengan AS maupun China," tulis laporan itu.
Tambahan juga, investasi AS dan China menjadi kusut dalam perkembangan start-up lintas batas negara sampai 2017.
"Pemisahan kedua negara dapat siapkan tes bagus bagaimana AS dan China dapat bersaing secara terpisah," tulis laporan itu.
"Rakyat Tiongkok tentu saja bisa sediakan dana untuk penelitian AI.
"Namun AI dalam ruangan yang canggih dan vakum, terisolasi yang muncul dari sektor teknologi AS, bisakah memang terjadi?"
Washington telah memberi sanksi puluhan firma dan perusahaan China, termasuk perusahaan yang terlibat dalam AI dan sistem pengenalan wajah.
Hal ini karena tuduhan bahwa perusahaan tersebut melakukan pengawasan minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Baca Juga: Hadapi Corona; Kecap dan Makanan Lainnya Ini Awet Sepanjang Masa
AS juga memotong akses raksasa Huawei untuk chip dan suku candang canggih minggu kemarin.
Kedua negara tidak dipungkiri juga sering tegang mengenai pengelolaan generasi mendatang jaringan internet.
Kesimpulan dari laporan itu sebutkan jika militer AS harus mulai fokus ke tiga hal penting: mengubah teknologi AI untuk urusan pertahanan, efektivitasnya dan kemampuannnya dengan teknologi secanggih itu serta adaptasi strategi operasional.
Laporan itu diakhiri dengan kebiasaan buruk AS dalam menerima risiko dan baru bergerak setelah mendapatkan inovasi serta inisiatif membuat AS terancam dibalap China dalam masalah ini.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini