Advertorial
Intisari-online.com -Sebagian besar dokter di rumah sakit umum ibu kota Kenya melakukan mogok kerja pada Jumat (21/8/2020), untuk memprotes gaji yang tertunda serta kurangnya peralatan pelindung diri ( APD) yang memadahi untuk menangani pasien yang berpotensi menderita Covid-19.
Melansir Reuters pada Jumat (21/8/2020), sekretaris jenderal dari Serikat Praktisi Medis, Apoteker dan Dokter Gigi Kenya, Thuranira Kaugiria mengatakan pemogokan dimulai pada tengah malam pada Jumat.
Dia mengatakan aksi mogok tersebut dilakukan oleh 320 dokter yang dipekerjakan pemerintah Nairobi County.
Kaugiria mengatakan para dokter tersebut melakukan itu karena memiliki asuransi kesehatan yang tidak memadai, APD berkualitas buruk, dan terlalu sedikit ruang isolasi untuk merawat pasien Covid-19.
Baca Juga: 5 Cara Mudah Nonton Netflix Gratis Tanpa Harus Pakai yang Ilegal
Kemudian, ia menjelaskan bahwa aksi mogok tersebut tidak akan mempengaruhi rumah sakit swasta dan rumah sakit umum di Nairobi yang dijalankan oleh pemerintah nasional.
Data terbaru di Kenya menunjukkan, ada 31.441 kasus virus corona yang dikonfirmasi, 620 kematian, dan 13.536 kasus orang pulih dari virus corona, serta sudah ada 407.610 pengetesan yang dilakukan sejauh ini.
Sementara, mayoritas kasus yang dikonfirmasi terjadi di ibu kota.
Dokter Kenya telah mengunggah gambar di Twitter tentang apa yang mereka katakan sebagai perlengkapan yang tidak memadai yang disediakan oleh pemerintah, termasuk peralatan yang digunakan untuk melindungi diri dari penyebaran virus.
Baca Juga: Pre Order Promo Film Streaming Disney+ Hotstar Lewat Telkomsel Hanya Rp 15 Ribu Sebulan
Dalam insiden terpisah pada Jumat (21/8/2020), polisi menggunakan gas air mata terhadap puluhan pengunjuk rasa yang berkumpul di Freedom Corner di Taman Uhuru.
Mereka melakukan demo untuk melawan tuduhan korupsi dalam pengadaan APD.
Kepala Otoritas Perlengkapan Medis Kenya yang dikelola pemerintah telah ditangguhkan karena lembaga tersebut dicurigai telah membeli barang-barang berkualitas rendah dan menaikkan harga barang.
"Kami diuji setiap hari dengan bombardir berita tentang berapa banyak uang yang hilang untuk melawan pandemi Covid-19," kata Wanjeri Nderu, yang membantu mengorganisir protes. (Shintaloka Pradita Sicca)
Herd Immunity Swedia
Sementara itu Swedia masih sangat longgar dalam menanggulangi virus Corona dan tidak terapkan lockdown.
Negara dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa tersebut hanya harapkan herd immunity.
Dr Tegnell sejak Maret lalu telah menanyakan kemungkinan kematian yang lebih tinggi di kalangan warga lanjut usia dapat diterima demi mempercepat tercapainya kekebalan kawanan.
Baca Juga: Tanda tanda Hamil 40 Minggu, Kenali Sinyal Waktunya untuk Melahirkan!
Persentase kematian terkait COVID-19 di Swedia, yaitu 5.700 jiwa, termasuk yang paling buruk di dunia.
Namun tetap lebih rendah dibandingkan beberapa negara Eropa yang menerapkan pembatasan ketat seperti Italia, Inggris dan Spanyol.
Pihak berwenang mengakui Swedia gagal dalam mempersiapkan diri di sektor panti jompo yang ribuan penghuninya menjadi korban.
Pendekatan yang diterapkan Swedia sangat berbeda dengan negara-negara Skandinavia lain seperti Norwegia, Denmark dan Finlandia.
Pemerintah Swedia sebenarnya memberlakukan pembatasan, misalnya pertemuan massal tetap dilarang, ada anjuran untuk tidak melakukan perjalanan yang tak penting.
Warga juga diminta bekerja dari rumah serta mengisolasi diri jika merasa tidak sehat.
"Kami tidak menerapkan pembatasan ketat, namun jelas hal ini cukup berhasil," ujar Profesor Joakim Dillner, epidemiolog dari Karolinska Institute.
Bahkan disebut pendekatan Swedia termasuk sangat naif.
Baca Juga: Peduli Tubuhmu; Tanda Tubuh Perlu Mendetoksifikasi Kenali Secara Alami
"Mereka memiliki tingkat kematian yang 10 kali lipat dari satu juta penduduk dibanding negara-negara sekitarnya," katanya.
Dia menjelaskan, tidak banyak ditemukan antibodi pada orang tanpa gejala, yang berarti mereka cenderung tidak kebal terhadap Covid-19.
"Mereka harus pikirkan kembali apakah cara ini benar-benar tepat?" ujar Prof. Goldsmith.
"Terutama karena belum terjadi ada kekebalan massal, yang menurut saya, tidak akan pernah terjadi," jelasnya.
Namun Prof. Dillner menyatakan sebenarnya sudah terjadi penyebaran signifikan di beberapa wilayah Stockholm.
Penelitiannya menunjukkan sekitar 8 hingga 31 persen tenaga kesehatan di Stockholm telah memiliki antibodi.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ratusan Dokter di Kenya Mogok Kerja karena Gaji dan APD Tidak Terpenuhi" dan "Benarkah Herd Immunity di Swedia Gagal? Begini Penjelasannya..."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini