Advertorial
Intisari-Online.com - Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, atau yang dikenal dengan Kudatuli, menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati Soekarnoputri yang kita kenal saat ini.
Hari itu, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah.
Suasana di Jalan Diponegoro, Jakarta, begitu mencekam.
Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi, terutama terkait dualisme partai politik di Indonesia.
Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto.
Upaya de-Soekarno-isasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam politik.
Kendati keluarga Soekarno yang semula sepakat tak ikut politik praktis, tetapi pada 1987 Megawati akhirnya luluh bergabung ke PDI.
Setelah terpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat.
Dukungan untuk Mega mengalir deras.
Para simpatisan bahkan sudah menandatangani surat tidak akan menuntut Megawati jika nanti mereka harus kehilangan nyawa.
Kerusuhan Kudatuli Kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati itu kemudian digeruduk pendukung PDI kubu Soerjadi saat fajar 27 Juli 1996.
Kesepakatan tidak tercapai. Pukul 06.35 WIB, terjadi bentrokan di antara kedua kubu.
Pagi itu, puluhan pendukung Mega sudah babak belur terluka akibat saling lempar batu.
Sebagian dari mereka diamankan. Memasuki siang hari, pukul 11.00 WIB, massa memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya.
Jumlahnya menjadi ribuan. Tak cuma pendukung Megawati, sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat Stasiun Cikini.
Megawati memilih diam...
Pasca-insiden itu, Megawati menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatan terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan.
Megawati akhirnya kalah dalam gugatan itu.
Kekalahan itu justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik.
PDI Perjuangan yang dibentuknya menang dalam pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pada era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka.
Saat itu, tekanan publik terutama dari keluarga korban sangat kuat.
Ini ditambah sikap politik baru polisi terhadap militer pasca-pemisahan TNI-Polri.
Penyelidikan Peristiwa 27 Juli yang mengarah ke sejumlah petinggi militer secara tak langsung akan memperlancar proses pemisahan.
Gus Dur memperhatikan betul penyelesaian 27 Juli. Begitu pula isyarat kuat dari Megawati kala itu. Namun, penyelidikan tidak berjalan lancar. Para penyidik diteror untuk tidak melanjutkan.
Masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat.
Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilempar ke kejaksaan. Setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati tetap memilih diam.
Disinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996.
Menurut Peter Kasenda dalam Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya.
Dukungan PDI-P di DPR tidak mayoritas dan kekuasaannya belum sepenuhnya terkonsolidasi. Megawati membutuhkan dukungan dari militer.
Di sisi lain, ia dituntut korban dan keluarga korban peristiwa Kudatuli untuk mengusut peristiwa yang terjadi.
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi pengacara korban beberapa kali menanyakan komitmen Megawati dalam mengungkap kasus 27 Juli 1996.
Dalam pertemuan dengan TPDI, Megawati menyadari bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban.
Namun, ia masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi militer.
Ia juga mengatakan kepada TPDI bahwa penyelesaian Kudatuli tidak perlu melibatkan semua tentara. Cukup satu orang yang diadili, yakni Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung.
Namun, pihak TNI keberatan atas permintaan Megawati.
Pasalnya, jika Feisal yang diminta pertanggungjawaban, itu sama saja dengan menggugat kebijakan TNI secara keseluruhan. Resistensi ini akhirnya membuat Megawati diam dan memilih "menjaga" hubungan baik dengan militer.
Bahkan, Sutiyoso yang saat itu menjabat Pangdam Jaya didukung Presiden Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Pengadilan koneksitas yang digelar pada era Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI.
Ia dihukum dua bulan 10 hari. Sementara dua perwira militer yang disidang, yaitu Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), divonis bebas.
(*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Saat Megawati Melawan tetapi Berakhir Diam..."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari