Advertorial
Intisari-Online.com – Menjaga rumahnya agar tetap aman dari orang luar tentunya dilakukan setiap pemilik rumah.
Apalagi pemilik ‘rumah’ ini adalah sebuah negara adidaya, Amerika Serikat.
AS melalui badan itelijen CIA yang bekerja di semua negara biasanya menggunakan Kedubes AS sebagai save house atau “markas yang dijamin aman”.
Hal ini karena wilayah seputar Kedubes AS yang berada di dalam pagar memiliki kekebalan diplomatik.
Salah satu tugas agen CIA dan juga orang Kedubes adalah mengawasi orang-orang yang akan berkunjung ke AS ketika mereka sedang mengurus visa.
Anggota TNI yang akan berkunjung ke AS pun harus mengurus visa dan biasanya visa diurus oleh petugas berpangkat sersan kepala.
Kedubes AS akan melakukan semacam investigasi terhadap setiap paspor yang sedang digunakan mengurus visa dan juga wawancara terhadap pemilik paspor bersangkutan.
Hingga saat ini Kedubes AS masih sangat mewaspadai nama-nama pemilik paspor yang menggunakan nama Arab (Muslim) karena nama-nama tersebut dikhawatirkan terkait dengan aksi terorisme.
Sebagai contoh, para anggota TNI yang memiliki nama yang mencerminkan orang muslim banyak yang gagal mendapatkan visa padahal rombongan TNI itu ke AS dalam rangka menjemput pesawat C-130 Hercules yang dihibahkan oleh AS ke Indonesia .
Tapi jika sampai yang “dicekal” secara mendadak oleh AS adalah perwira tinggi TNI, seperti Panglima TNI maka bisa ditebak alasannya hanya ada satu macam: kasus pelanggaran HAM..
Sebagai contoh ketika pasukan TNI bertempur di Timor-Timur ternyata terbukti menggunakan pesawat tempur buatan AS dan persenjataan yang juga buatan AS.
TNI dianggap melanggar karena waktu terjadi kontrak pembeliaan senjata dan pesawat tempur sudah ada perjanjian bahwa pesawat serta senjata yang dibeli tidak boleh digunakan untuk menyerang rakyat sendiri.
Pelanggaran penggunaan senjata yang dibeli TNI dari AS itu oleh AS dianggap serius karena “telah melanggar HAM” mengingat banyak warga sipil yang sudah menjadi korban.
Maka selain sangsi berupa embargo senjata, AS juga menerapkan sangsi kepada petinggi militer yang bertanggung dalam operasi militer sebagai “penjahat perang”.
Setelah Timor-Timur melepaskan diri dari Indonesia, memang harus diakui ada sejumlah pejabat tinggi TNI yang telah dilaporkan ke Mahkamah Internasional (Court of Justice) PBB di Den Hagg, Belanda untuk diadili.
Pejabat tinggi TNI yang sudah “dilaporkan” ke Den Hagg biasanya juga akan di-black list oleh AS dan jika memaksa terbang ke AS, ia akan langsung ditangkap.
Sayangnya AS juga memberlakukan black list bagi pejabat TNI berikutnya sebagai semacam “hukuman” karena TNI tidak segera menyerahkan pejabat TNI yang sudah dilaporkan ke Den Hagg.
Dalam kasus ini kasus pencekalan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tidak bisa berangkat ke AS, bisa dikatakan sedang “ketiban sial” para pendahulunya yang sudah diincar oleh AS untuk dibawa ke Den Hagg. (Moh. Habib Asyhad)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari