Sebagian besar perempuan mengalami pendarahan, dengan tingkat berbeda, saat selaput dara robek, namun, menurut para dokter dan ahli, perdarahan itu tidak selalu terjadi pada semua perempuan.
Bentuk selaput dara itu beragam: beberapa hanya dapat ditembus dengan tindakan operasi; namun ada juga yang bentuknya sangat tipis sehingga bisa robek tanpa pendarahan. Ada juga beberapa anak gadis yang terlahir tanpa selaput dara sama sekali, atau selaput dara mereka secara tidak sengaja robek akibat cedera yang dialami selama masa kanak-kanak.
Somayya menggambarkan reaksi suaminya dengan mengatakan "ia menatap saya seperti menancapkan belati di dada saya, ia secara tidak sengaja telah membunuh saya".
"Ia bahkan tidak mau berbicara dengan saya. Saya merasa diabaikan dan saya seolah-olah menjadi tersangka yang menunggu untuk diadili. Sebelum menikah, kami telah membahas banyak hal," tambahnya, "bahkan malam pernikahan kami, yang seharusnya menjadi malam terbaik dalam hidup kami ".
"Kami pikir kami sudah mengenal satu sama lain, namun semuanya sirna ketika 'tidak ada tanda-tanda keperawanan muncul'."
Selembar kain berlumur darah
Meski kejadian tersebut lumrah terjadi di lingkungannya, Somayya tak menyangka ia akan mengalaminya sendiri. Karena ia menganggap perilaku kaum remaja pria sudah berubah dan pandangan mereka berbeda terhadap generasi kakek-neneknya, terutama karena tunangannya dari kalangan intelektual, mempunyai pikiran terbuka dan lulusan universitas.
Namun saat sang suami menganjurkan pergi ke dokter untuk memastikan Somayya perawan atau tidak di hari kedua pernikahan mereka, ia pun terperangah. Tes keperawanan untuk anak perempuan adalah kebiasaan kuno, namun masing-masing keluarga memiliki uji keperawanan yang berbeda.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR