Advertorial

Tak Punya Belas Kasihan, Bocah Bersepeda ini Divonis Hukuman Mati oleh Pengadilan Arab Saudi, Hanya Gara-gara Berdemo Bersama Teman-temannya

Tatik Ariyani

Editor

Intisari-Online.com- Sudahsembilan tahun berlalu sejak seorang bocah laki-laki memimpin kelompok yang terdiri dari sekitar 30 anak di jalanan berdebu Arab Saudi bagian timur.

Saat itu, Murtaja Qureiris berusia 10 tahun, ia mengenakan jins yang digulung dan sandal jepit hitam, menyeringai di depan kamera.

Sekumpulan anak terlihat seperti akan pergi bersepeda biasa bersama-sama, tapi sebenarnya mereka akan melakukan protes.

Terlarut dalam aksi demo dengan puluhan anak laki-laki lain, Qureiris berteriak dengan megafon, "Orang-orang menuntut hak asasi manusia!"

Baca Juga: Hancurnya 19 Tahun Karier Gemilang Brigjen Prasetijo Utomo, Terbukti Terbitkan Katebelece yang Bikin Buronan Kelas Kakap Djoko Tjandra Melenggang Kabur ke Luar Negeri dengan Mudah

Qureiris berpartisipasi dalam demonstrasi damai yang dilakukan kaum minoritas Syiah di Provinsi Timur Arab Saudi selama Musim Semi Arab pada 2011.

Tiga tahun setelah dia difilmkan dan terbukti terlibat dalam protes, otoritas Saudi menangkap Qureiris, yang saat itu baru berusia 13 tahun.

Dia bepergian dengan keluarganya ke Bahrain ketika dia ditahan oleh otoritas perbatasan Saudi di jalan lintas Raja Fahd yang menghubungkan kedua negara.

Pada saat itu, ia dianggap oleh pengacara dan aktivis sebagai tahanan politik termuda di Arab Saudi.

Baca Juga: Manfaat Ketumbar untuk Turunkan Berat Badan, Campurkan dengan Ini!

Pada usia 18 tahun, Qureiris akan menghadapi hukuman mati setelah ditahan selama hampir empat tahun dalam penahanan pra-sidang.

Bukan hanya dengan dipancung, jaksa penuntut umum memerintahkan agar jasad Qureiris disalib dan dimutilasi, sebagai bentuk hukuman paling berat.

Negara ini memiliki salah satu tingkat eksekusi tertinggi di dunia, dan sering dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia karena mengeksekusi orang-orang yang di bawah umur pada saat melakukan kejahatan.

Usia pertanggungjawaban pidana di Arab Saudi sebetulnya tidak jelas, tetapi pada tahun 2006 kerajaan mengatakan kepada Komite Hak Anak bahwa mereka telah menaikkan batas menjadi 12 tahun.

Baca Juga: Keroyok China, Inggris Ikut Kerahkan Kapal Induk Baru ke Pasifik Gabung AS dan Jepang untuk Lawan China

Dalam perkembangan kasusnya, Qureris mendapat banyak tuduhan, ia didakwa ikut merancang dan melempar bom molotov ke kantor polisi di Awamiya pada 2011 ketika iring-iringan pemakaman kakaknya yang seorang aktivis, Ali Qureiris.

Ali meninggal pada 2011, disebutkan telah dibunuh oleh aparat Saudi ketika melakukan aksi demo.

Murtaja Qureiris berusia 11 ketika saudaranya meninggal mengambil bagian dalam protes yang digambarkan kerajaan sebagai kekerasan.

Dalam video pemakaman saudara lelaki Qureiris yang diperolehCNN, para pelayat meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah ketika iring-iringan mengisi sebuah jalan.

Video itu memperlihatkan ayahnya, Abdullah Qureiris, membungkuk di atas tubuh Ali. Dia terlihat menciumnya untuk terakhir kalinya sebelum tubuhnya terbawa oleh lautan pelayat.

Qureiris saat itu (2019) sedang diadili, di mana jaksa penuntut menuduhnya sebagai "kelompok teroris ekstremis."

Qureiris membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa ia mengaku karena berada di bawah tekanan.

Meskipun aksi demo yang dilakukannya tak membuat ada nyawa yang melayang, aparat berupaya untuk memaksakan bentuk hukuman mati yang paling keras, yang dapat mencakup penyaliban atau pemotongan setelah eksekusi dengan argumen bahwa aksi yang dilakukan Qureiris adalah 'penaburan hasutan' dan akan dituntut hukuman terburuk, menurut interpretasi ketat kerajaan tersebut terhadap hukum Syariah Islam.

Keluarga Qureiris yang lain juga berhadapan dengan hukum, saudara lelakinya yang lain juga telah dipenjara sementara ayahnya ditahan tahun lalu, menurut aktivis.

Baca Juga: Ditelanjangi Terlebih Dahulu, 33.000 Orang Yahudi Terbunuh di Jurang Babi Yar, Bahkan Korban yang Terluka Dikubur Hidup-hidup Bersama Mayat

Pengakuan yang diekstraksi

Pada tahun 2016, Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang membahas kasus seorang remaja Saudi yang dipenjara yang tidak disebutkan namanya, namun menurut data, kasus itu merujuk pada Qureiris.

Kelompok Kerja PBB mengatakan pada November 2016 bahwa mereka percaya bahwa anak di bawah umur telah disiksa, pengakuannya “diambil” dan bahwa penangkapannya sewenang-wenang. Ia juga mengatakan bahwa penahanan itu melanggar norma-norma internasional.

Kelompok Kerja PBB mengatakan, anak di bawah umur itu kemungkinan ditahan sehubungan dengan "partisipasinya dalam demonstrasi damai yang menyerukan keadilan bagi sejumlah pemrotes yang tewas dan dalam sebuah pemakaman."

Protes yang 'wajar'

Jika Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati pada Qureiris, ia akan bergabung dengan setidaknya tiga tahanan lain yang dieksekusi tahun ini karena kejahatan yang diduga dilakukan sebelum usia 18 tahun.

Abdulkareem al-Hawaj, Mujtaba al-Sweikat dan Salman Qureish adalah bagian dari eksekusi massal 37 orang, yang sebagian besar adalah Syiah.

Ketiganya ditangkap karena kekerasan yang menurut pemerintah dilakukan selama protes sekitar waktu Musim Semi Arab. Protes ini sendiri merupakan sebuah unjuk rasa yang wajar yang dikenal Arab Spring, serangkaian arus massa di negeri Timur Tengah untuk menuntut demokratisasi, jaminan atas hak asasi manusia, perbaikan ekonomi, serta peniadaan sekterianisme.

Tetapi jaksa penuntut sangat bergantung pada pengakuan yang dikatakan para tahanan diambil dari mereka. Dalam persidangan, mereka mengatakan bahwa mereka disiksa, pengakuan dilakukan di bawah tekanan.

Di Arab Saudi, hukuman mati hanya dapat ditegakkan atas perintah Raja Salman atau wakilnya yang sah, Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Baca Juga: Covid Hari Ini 16 Juli 2020: Kasus Virus Corona di Indonesia Capai 80.094, Sementara di Laos dan Kamboja Tak Ada Kematian

Demonstran tak berkedok

Dalam salah satu video Murtaja Qureiris yang diperolehCNN, bocah lelaki itu terlihat berdiri di samping ayahnya yang sedang berbicara di depan kerumunan demonstran.

Sebagian besar demonstran bertopeng. Murtaja dan ayahnya membiarkan wajahnya terlihat, sesuatu yang mungkin membuat keluarga lebih mudah terjerat dalam tindakan keras pemerintah terhadap para aktivis.

"Murtaja (Qureiris) adalah satu-satunya orang yang tidak mengenakan topeng selama protes," kenang aktivis Mohammad Daman. "Dan dia selalu bersama ayahnya (Abdullah)."

Dalam rekaman itu, Abdullah mengenakan thobe cokelat yang biasanya diperuntukkan bagi para tetua suku Arab, dan berbicara dalam sebuah megafon sementara pengunjuk rasa lain memegang Al-Quran di atas kepalanya.

"Kami berjanji kepada para martir bahwa kami akan melanjutkan pawai kami," kata Abdullah Qureiris.

Berdiri di sampingnya, Murtaja Qureiris dengan topeng ski di kepalanya, setelah itu menyingkirkannya dari wajahnya. Dia melirik kamera, tersenyum, dan berjalan pergi, tidak menyadari nasib apa yang akan dia hadapi di masa depan.

(Nieko Octavi Septiana)

Artikel Terkait