Advertorial
Intisari-online.com -China adalah salah satu negara yang berhasil membuat banyak orang terkagum-kagum.
Melansir dw.com, hanya dalam tiga puluh tahun China telah mengubah citra negara miskin menjadi negara dengan kekuatan ekonomi global.
Pada 2018 lalu, Beijing telah berfokus untuk menjadi pusat superpower dunia.
Mulai pada tahun 2018, dunia khawatir kebangkitan China dan pengaruhnya yang bercampur dengan kekaguman betapa cepat mereka membangun negara tersebut.
Sejak Xi Jinping menjadi presiden China tahun 2012 silam, pemerintah berjanji akan mengembalikan kejayaan China seperti dinasti masa dahulu kala.
Itulah yang dinamakan visi "Chinese Dream" yang digalakkan oleh Xi Jinping.
Tidak dapat dipungkiri, Xi Jinping memang berhasil mengukir visi tersebut karena China saat ini memandang negara mereka sebagai negara paling kaya sedunia.
Mereka menganggap bahwa mereka adalah penerus tahta peradaban tertua di dunia yang memimpin dunia di sektor kebudayaan, ilmiah, teknologi dan administrasi pada abad ke-16.
Dalam konsep ini, China yang dulu disebut "Middle Kingdom", adalah pusat dunia, dikelilingi oleh makhluk barbar yang akan membayar berapapun untuk menghancurkan negara tersebut.
Maka, Chinese Dream berusaha untuk mewujudkan kembalinya kejayaan China yang ditargetkan akan terjadi pada tahun 2049.
Tahun itu menandai perayaan 100 tahun pembentukan Republik Rakyat China.
Saat itu, China bertekad sudah menjadi pusat kekuasaan dunia dengan kekuatan yang mumpuni.
Namun, jika melihat kondisi saat ini, China masih cukup jauh untuk mencapai visi pemimpin dunia tersebut.
Selain dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh virus Corona, rupanya masih banyak hal lain yang sebabkan mereka masih goyah.
Namun seperti biasa, rezim Xi Jinping menutupi hal tersebut dan berusaha buktikan bahwa negaranya memang negara kuat.
Seperti pada saat ia berikan sumbangan kepada WHO untuk penanganan virus Corona sebanyak 2 milyar Dolar Amerika.
China juga selama ini dikenal sebagai negara 'pemberi hutang' dan berupaya menjadi kreditor terbesar di negara-negara berkembang.
Mereka lakukan dengan meningkatkan pinjaman global selama 20 tahun terakhir untuk dialirkan ke negara-negara miskin untuk memperluas pengaruhnya.
Pinjaman itu diberikan kepada negara miskin sementara negara miskin harus menggadaikan pelabuhan penting, tambang atau aset berharga lainnya.
Meski begitu, seperti yang sudah dikatakan, China masih dalam posisi terombang-ambing karena banyak dihantam dari sisi dalam dan sisi luar.
Dari sisi dalam meliputi pandemi virus Corona, yang berdampak langsung pada ekonomi mereka.
Sedangkan dari sisi luar banyak hal yang menghantam mereka.
1. Krisis dalam negeri akibat pandemi virus Corona
Saat pandemi berlangsung dan memberi dampak langsung pada ekonomi dunia, China menghadapi risiko kehilangan pinjamannya.
Dampak krisis hebat yang melanda seluruh dunia, membuat negara 'pemberi utang' sekelas China juga dalam kesulitan yang sama.
Dalam sebuah kasus kecil misalnya Pakistan menelpon mitra-mitranya di Beijing dan membuat permintaan mendesak, untuk merekonstruksi miliaran dollar dan bentuk pinjaman dari China.
Permintaan serupa bahkan dibuat berturut-turut ke Beijing oleh Kirgistan, Sri Lanka dan banyak negara Afrika lainnya.
Semuanya adalah debitor besar, dalam jumlah puluhan miliar dollar dari China.
Mengutip 24h.co.vn, usulan semacam itu membuat China dalam kondisi yang sulit.
Dalam upayanya untuk menjadi kreditor terbesar di negara-negara berkembang, selama dua dekade terakhir China meningkatkan pinjaman global.
Mengalirkan ratusan miliar dollar ke negara-negara miskin untuk memperluas pengaruhnya.
Banyak negara meminjam uang ke China, sementara mereka harus menggadaikan pelabuhan penting, tambang, atau aset berharga lainnya.
Menurut Amerika kebijakan Beijing menghamburkan uang untuk memberi pinjaman ini, disebut sebagai "diplomasi perangkap utang."
Amerika juga memperingatkan, negara-negara kecil untuk berhati-hati dalam meminjam uang dari China.
Namun, dalam konteks pandemi berlangsung dan berdampak langsung pada ekonomi dunia, China menghadapai risiko kehilangan pinjamannnya.
Karena negara debitur mengatakan mereka tidak bisa membayar utang ke China.
Jika China setuju untuk merekonstruksi atau menghapus utang, ini akan memberikan tekanan besar pada keuangan negara.
Karena, pada saat yang sama semua orang di dunia dalam kondisi sulit akibat mewabahnya Covid-19.
Namun, jika China memutuskan untuk memulihkan utang dan tetap memberikan tagihan pada negara-negara yang terpukul, akan membuat negara pengutang membenci China.
Sementara itu, China diketahui telah membelanjakan 2 miliar dollar (Rp29 triliun) untuk mencegah epidemi.
Baca Juga: Demi Menjadi Negara Superpower Militer di Dunia, Ini Sistem Militer yang Harus Dimiliki Israel
Sedangkan, China telah meminjamkan setidaknya 350 miliar dollar AS (Rp5.148 triliun) ke banyak negara, sekitar setengah jumlah dari negara peminjam ekonominya sangat terpukul.
"Mengurangi utang, mungkin paling efektif yang bisa dilakukan China, masih ada untung alih-alih menghapus utang," kata Tong Vi, pejabat departemen penelitian Kementerian Perdagangan Tiongkok.
Beberapa orang China mulai mempertanyakan, apakah uang yang mereka hasilkan akan terbuang sia-sia di luar negeri.
Tiongkok dikenal mengenakan suku bunga tinggi, dan jatuh tempo yang pendek ketika memberikan pinjaman, namun China mudah memberikan pinjaman asal diberi jaminan aset nasional penting.
2. Protes Hong Kong
Sempat mereda selama pandemi virus corona, aksi demonstrasi besar anti-Beijing kembali berlangsung di Hong Kong sejak beberapa pekan terakhir.
Demonstrasi itu dipicu oleh rencana pemerintah Hong Kong mengadopsi RUU Keamanan Nasional yang diusulkan China.
Kisruh di Hong Kong membuat mantan Gubernur Hong Kong, Chris Patten angkat bicara.
Ia menilai, Presiden China Xi Jinping sangat gugup dengan posisi Partai Komunis China sehingga ia mempertaruhkan perang dingin baru dan membuat posisi Hong Kong sebagai pusat keuangan di ujung tanduk.
Chris Patten adalah Gubernur terakhir yang ditempatkan Inggris di Hong Kong.
Patten mengatakan, tindakan keras Xi di Hong Kong berisiko memicu arus keluar modal dan orang-orang dari Hong Kong yang menyalurkan sebagian besar investasi asing ke daratan China.
3. Konflik Menjaga Perbatasan
Sudah bukan rahasia lagi China terlibat dalam kegiatan penjagaan perbatasan yang berlebihan seperti di perbatasan India-China (wilayah Ladakh), Laut China Timur dan yang terbesar Laut China Selatan.
India berang China tiba-tiba kirimkan pasukan untuk masuki wilayah India di Ladakh, dan India tidak berniat sedikit pun untuk berdamai dengan tindakan China tersebut sampai tentara China pergi.
Sementara di Laut China Timur militer Jepang juga bersiap siaga ketahui bahwa militer China tingkatkan anggaran untuk perkuat posisi di Laut China Timur.
Laut China Timur adalah salah satu sumber daya alam terpenting bagi negara Jepang, sehingga mereka tidak akan tinggal diam mengetahui China hendak merebut perairan internasional tersebut.
Kemudian konflik panjang Laut China Selatan, yang melibatkan kepentingan banyak negara: China, Amerika Serikat dan negara-negara Asean.
Laut China Selatan telah digagas oleh China untuk direbut sejak 10 tahun yang lalu. Namun tindakannya selalu ditentang oleh militer Amerika yang senantiasa berjaga di perairan sengketa tersebut.
Tidak hanya karena sumber minyak mentahnya yang melimpah, perairan itu penuh sumber daya alam dan keragaman laut yang melimpah, sehingga negara Asean seperti Vietnam, Filipina dan Indonesia tidak akan tinggal diam dan membenci China selamanya jika mereka melanggar kesepakatan tersebut.
4. Tindakan Separatis Taiwan
Taiwan adalah pecahan China yang bertekad untuk berdiri dengan kedaulatan penuh di bawah pimpinan Presidennya, Tsai Ing-wen.
Ajakan China untuk bergabung kembali ditolak Taiwan mentah-mentah, karena Taiwan yakin meskipun China tawarkan "satu negara, dua sistem", mereka tidak akan berdaulat penuh.
Sebal tidak bisa ajak Taiwan untuk kembali menjadi bagian negaranya, China mengatakan tidak akan pernah menoleransi kemerdekaan Taiwan.
5. Perang Dagang Amerika-China
China dan Amerika adalah kedua negara pemilik PDB terbesar di dunia.
Namun justru keduanya terlibat dalam perang dagang yang rumit dan tidak temukan titik penyelesaian.
Perang dagang adalah kebijakan yang masing-masing negara terapkan terkait tarif atas produk milik satu sama lain.
Pada tahun 2018, China dan AS memungut tarif awal 25 persen pada produk masing-masing senilai US $ 34 miliar pada 6 Juli, dan itu diperpanjang hingga lebih dari US $ 16 miliar pada akhir Agustus lalu.
Namun kedua negara tidak ada yang setuju, dan krisis perang dagang semakin berkembang yang kini diperparah dengan pandemi virus Corona.
Tidak bisa dipungkiri, perang dagang dengan Amerika mungkin yang paling membuat China selalu hampir lumpuh.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini