Maka Abe menyatakan keadaan darurat nasional virus corona pada 7 April, memberi kewenangan pada para gubernur untuk mendesak warganya tetap di rumah dan menutup bisnisnya.
Cara ini lebih lembut daripada lockdown di negara-negara lainnya, karena tidak ada hukuman bagi para pelanggar.
Untuk mengurangi dampak, Abe juga menjanjikan pemberian 100.000 yen (Rp 14 juta) untuk setiap warga Jepang sebagai bagian dari paket stimulus senilai 1 triliun dollar AS (Rp 15 kuadriliun).
Namun bantuan ini tidak lepas dari kritikan, karena penyaluran bantuan 2 masker ke rumah tangga tidak berjalan lancar.
Sebuah survei di Kyodo News baru-baru ini menunjukkan 57,5 persen responden tidak senang dengan tanggapan pemerintah Abe terhadap pandemi ini, dengan hanya 34,1 persen yang menyatakan kepuasannya.
Tobias Harris seorang ahli politik Jepang dari konsultan Teneo mengungkapkan kepada AFP, bahwa kinerja Abe "tidak merata".
"Saya pikir dia telah kesulitan di garis terdepan sejak awal, komunikasinya tidak efektif, dan tidak dilayani dengan baik oleh para pembantunya," tambah Harris.
Kebijakan penutupan sekolah mungkin membantu mengatasi penyakit ini, tapi Harris meyakini standar kebersihan yang tinggi, populasi yang umumnya sehat, dan kebiasaan memakai masker sebagai alasan yang lebih mungkin di balik rendahnya tingkat kematian Jepang.
Namun spekulasi apa pun harus disikapi dengan hati-hati karena begitu banyak yang belum diketahui tentang penyakit ini.
"Mungkin perlu lebih banyak pengamatan untuk menjawab teka-teki Jepang."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Misteri di Balik Keberhasilan Jepang Tangani Virus Corona"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?
Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR