Advertorial
Intisari-Online.com - Kasus virus corona di Jepang tidak sebanyak negara-negara maju lainnya.
Namun, keberhasilan Negeri "Sakura" menangani wabah Covid-19 ini menyimpan misteri.
Dengan banyaknya lansia dan memiliki salah satu kota terpadat di dunia, Jepang di atas kertas diprediksi menjadi lahan subur penyebaran virus corona.
Padatnya kereta komuter Tokyo juga sempat memicu kekhawatiran ibu kota Jepang akan menjadi "New York berikutnya" dalam hal dampak Covid-19.
Namun negara berpenduduk 126 juta orang ini mencatatkan 16.024 kasus dengan 668 kematian, menurut data Kementerian Kesehatan pada Kamis (14/5/2020).
Angka tersebut jauh di bawah negara-negara maju lainnya, bahkan sempat mengundang kecurigaan pihak berwenang tidak membeberkan gambaran lengkap.
Mengenakan masker, melepas sepatu, membungkuk tidak berjabat tangan, tingkat obesitas yang rendah, bahkan mengonsumsi makanan tertentu dinilai sebagai budaya yang turut membantu memperlambat penyebaran Covid-19 di Jepang.
Dengan jumlah kasus baru menurun dalam beberapa pekan terakhir, Perdana Menteri Shinzo Abe akan mengumumkan pencabutan keadaan darurat nasional virus corona pada sebagian besar wilayah pada Kamis malam (14/5/2020).
Baca Juga: Ukurannya 21 Meter, Roket China Ini Diduga Pecah di Angkasa, Puing-puing Berjatuhan di Afrika
Akan tetapi di balik narasi kesuksesan ini, para kritikus mengkhawatirkan rendahnya jumlah kasus karena tingkat pengujian yang relatif rendah.
Pada 11 Mei Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan telah ada 218.204 tes virus corona, yang merupakan tingkat per kapita terendah di G7 menurut Worldometers.
Bahkan Shigeru Omi pakar virus corona di pemerintahan Jepang sendiri, mengaku "tidak ada yang tahu" apakah jumlah kasus virus corona di Jepang sebenarnya "bisa 10 kali, 12 kali, atau 20 kali lebih banyak dari yang dilaporkan."
Ryuji Koike asisten direktur Rumah Sakit
Universitas Medis dan Kedokteran Gigi Tokyo mengatakan kepada AFP, sementara Jepang memiliki tingkat kematian dan infeksi yang lebih rendah dari banyak negara, "bukan berarti kita baik-baik saja."
Ia menambahkan, "Saya tidak berpikir (penurunan kasus) disebabkan oleh kebijakan pemerintah."
"Saya pikir sepertinya Jepang baik-baik saja berkat hal-hal yang tidak dapat diukur, hal-hal seperti kebiasaan sehari-hari dan perilaku orang Jepang" - seperti menjaga kebersihan dan tidak berjabat tangan.
Namun Kazuto Suzuki profesor kebijakan publik di Universitas Hokkaido mengatakan, strategi Jepang dalam melacak kelompok dan hanya menguji orang dengan gejala akut terbukti cukup untuk jumlah kasus yang relatif rendah.
"Uji, uji, uji, bukan strategi Jepang," katanya dikutip dari AFP Kamis (14/5/2020).
Dengan rasio kasus positif dan pengujian sekitar 7,5 persen, "pengujian sudah cukup," katanya.
Akan tetapi ia memperingatkan, "Jika ada wabah eksponensial lagi, kita perlu melakukan lebih banyak pengujian."
Suzuki meyakini keberhasilan Jepang tidak jauh dari kebiasaan memakai masker dan menjaga kebersihan serta cuci tangan.
Teka-teki Jepang
Virus corona sudah masuk Jepang pada Januari dan sebulan kemudian ditambah maraknya kasus di kapal Diamond Princess, yang saat itu adalah pusat penyebaran terbesar di luar China.
Abe langsung menginstruksikan penutupan sekolah pada akhir Februari, meski penambahan kasus harian kurang dari 200 secara nasional.
Ketika jumlah kasus naik - mencapai angka tertinggi pada 11 April sebanyak 700 kasus sehari - ada kekhawatiran akan melumpuhkan sistem kesehatan Jepang.
Maka Abe menyatakan keadaan darurat nasional virus corona pada 7 April, memberi kewenangan pada para gubernur untuk mendesak warganya tetap di rumah dan menutup bisnisnya.
Cara ini lebih lembut daripada lockdown di negara-negara lainnya, karena tidak ada hukuman bagi para pelanggar.
Untuk mengurangi dampak, Abe juga menjanjikan pemberian 100.000 yen (Rp 14 juta) untuk setiap warga Jepang sebagai bagian dari paket stimulus senilai 1 triliun dollar AS (Rp 15 kuadriliun). Namun bantuan ini tidak lepas dari kritikan, karena penyaluran bantuan 2 masker ke rumah tangga tidak berjalan lancar.
Sebuah survei di Kyodo News baru-baru ini menunjukkan 57,5 persen responden tidak senang dengan tanggapan pemerintah Abe terhadap pandemi ini, dengan hanya 34,1 persen yang menyatakan kepuasannya.
Tobias Harris seorang ahli politik Jepang dari konsultan Teneo mengungkapkan kepada AFP, bahwa kinerja Abe "tidak merata".
"Saya pikir dia telah kesulitan di garis terdepan sejak awal, komunikasinya tidak efektif, dan tidak dilayani dengan baik oleh para pembantunya," tambah Harris.
Kebijakan penutupan sekolah mungkin membantu mengatasi penyakit ini, tapi Harris meyakini standar kebersihan yang tinggi, populasi yang umumnya sehat, dan kebiasaan memakai masker sebagai alasan yang lebih mungkin di balik rendahnya tingkat kematian Jepang.
Namun spekulasi apa pun harus disikapi dengan hati-hati karena begitu banyak yang belum diketahui tentang penyakit ini.
"Mungkin perlu lebih banyak pengamatan untuk menjawab teka-teki Jepang."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Misteri di Balik Keberhasilan Jepang Tangani Virus Corona"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari