Advertorial
Intisari-Online.com - Hingga saat ini, jumlah infeksi corona Covid-19 di DKI Jakarta tercatat 4.355 kasus.
Jumlah kasus sembuh mencapai 562, sedang jumlah meninggal mencapai 400 kasus.
Guru Besar Universitas Indonesia dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Budi Haryanto meyakini bahwa polusi udara di wilayah Jakarta bisa menjadi salah satu pemicu tingginya angka kasus terkonfirmasi positif dan kematian akibat Covid-19.
Hal tersebut karena orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena Covid-19.
Budi menjelaskan, studi yang dilakukan Universitas Harvard menemukan adanya keterkaitan antara peningkatan 1 gram meter kubik PM2.5 dengan kualitas udara saat ini yang berdampak pada meningkatnya kematian akibat Covid-19 hingga 15 persen.
Lebih lanjut, risiko kematian akibat Covid-19 lebih besar 4,5 kali lipat di wilayah berpolusi PM2.5 yang tinggi, jika dibandingkan dengan daerah berpolusi rendah.
Sebab, gangguan kesehatan atau penyakit kronis yang diakibatkan oleh pencemaran udara dapat menjadi komorbiditas yang memperparah penderita Covid-19.
“Sebenarnya kalau mau menggunakan hasil hasil temuan yang sudah ada di dunia itu dan melihat pada konsentrasi PM2.5 rata-rata yang ada di Jakarta. Sebenarnya kita bisa mengasumsikan terjadinya peningkatan seperti itu,” ujarnya dalam diskusi online, Kamis (30/4/2020).
Menurut Budi, polusi udara yang tinggi dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan kesehatan atau terkena penyakit, seperti ISPA, asma, dan penyakit pernapasan lainnya.
Mungkin Anda bertanya bagaima kualitas udara di Jakarta masih buruk padahal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah diterapkan, sehingga bukankah harusnya kualitas udara membaik?
Juru Bicara Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan, penerapan PSBB dan langit cerah di Ibu Kota beberapa waktu belakangan bukan berarti kualitas udara sudah sepenuhnya membaik dan bebas dari polusi, dikutip dari Kompas.com.
“Dikatakan ada langit terlihat bagus, Gunung Salak dan Gunung Pangrango terlihat dari Jakarta dalam waktu yang bersamaan. Itu kalau diperhatikan lebih dalam lagi ternyata hanya bisa terlihat dalam beberapa jam tertentu, tapi selanjutnya dia (polusi) meningkat lagi,” ujar Bondan dalam diskusi online, Kamis (30/4/2020).
Menurut dia, untuk mengetahui bahwa polusi di Ibu Kota masih berada di level yang aman harus dilihat dari data stasiun pemantauan kualitas udara.
Namun, data kualitas udara dari alat pemantauan yang dimilik pemerintah sulit untuk diakses oleh masyarakat.
“Sekarang lagi Covid-19 nih, katanya berjemur itu bagus untuk kesehatan. Tapi alih-alih berjemur untuk menghilangkan Covid-19, bagaimana kita kalau ternyata kita menghirup polutan,” ungkapnya.
Bondan menyebutkan bahwa kualitas udara selama April 2020 ternyata berada di level yang kurang baik dengan rata-rata konsentrasi polutan PM2.5 per harinya berada pada angka 15-20.
Data tersebut didapatkan dari dua stasiun pemantauan kualitas udara milik US Embassy yang berlokasi di Monas, Jakarta Pusat dan Blok M, Jakarta Selatan.
Pemberlakuan PSBB, lanjut dia, memang berhasil mengurangi polusi udara di Jakarta yang dihasilkan oleh emisi kendaraan.
Kendati demikian, banyak sumbangan polutan PM2.5 dari sumber tidak bergerak yang berada di luar Jakarta membuat kualitas udara di Ibu Kota tidak sepenuhnya membaik.
“Jakarta katakanlah transportasi sudah berkurang signifikan. Tapi kalau transportasi sebenarnya secara polutan kalau tidak salah itu signifikan mengurangi NO2-nya, tapi PM2.5-nya masih tinggi,” ujarnya.
Sementara kondisi udara di Jakarta menyebabkan tingginya kematian akibat Covid-19, kondisi udara di Benua ini justru mampu selamatkan belasan ribu jiwa.
MengutipThe Guardian, Kamis (30/4/2020), sebuah penelitian mengungkap peningkatan kualitas udara selama sebulan terakhir dari lockdown virus corona telah menghasilkan 11.000 kematian lebih sedikit dari polusi di Inggris dan di tempat lain di Eropa.
Para penulis laporan mengatakan respon tersebut menawarkan lingkungan yang lebih bersih dan sehat yang mungkin terjadi jika dunia menjauh dari polusi yang disebabkan oleh industri bahan bakar fosil.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kadar nitrogen dioksida turun 40% sementara partikel kecil - dikenal sebagai PM2.5 - turun 10%, yang berarti orang tanpa Covid-19 dapat bernafas lega.
Kedua bentuk polusi ini, yang melemahkan jantung dan sistem pernapasan, secara bersama-sama biasanya bertanggung jawab atas sekitar 470.000 kematian di Eropa setiap tahun.
Studi ini tidak memasukkan kematian akibat coronavirus itu sendiri.
Para ilmuwan percaya polusi udara meningkatkan keganasan penyakit dan beberapa studi menunjukkan virus dapat menempel pada partikel, tetapi para peneliti di balik model terbaru mengatakan mereka tidak memiliki data yang cukup untuk memasukkan ini dalam model mereka.
Penulis utama analisis, Lauri Myllyvirta, mengatakan penurunan polusi udara telah mengurangi tekanan pada layanan kesehatan pada waktu yang penting dan menunjukkan seberapa besar perbedaan yang dapat terjadi dengan adanya peningkatan kualitas udara.