Advertorial
Intisari-Online.com - Akhir-akhir ini, terjadi beberapa kasus pasien virus corona yang dinyatakan positif untuk kedua kali. Kejadian tersebut pun banyak diperbincangkan.
Adanya kasus-kasus seperti itu menimbulkan kekhawatiran, juga tanda tanya bagi orang-orang.
Meski belum diketahui secara pasti apakah yang terjadi adalah pasien terinfeksi kedua kali atau ada penyebab lain.
Tak heran jika kasus tersebut membuat heboh. Pasalnya, di sisi lain ada juga anggapan bahwa setelah seseorang terinfeksi virus corona, mereka akan kebal.
Jadi, bagaimana sebenarnya?
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) mengatakan belum ada bukti yang kuat bahwa pasien yang pulih dari Covid-19 mempunyai kekebalan tubuh atas wabah itu.
Sebelumnya, pemerintah Inggris dilaporkan sudah membeli 3,5 juta unit tes serologi.
Alat tersebut untuk menentukan level antibodi di dalam plasma darah.
Baca Juga: Bersepeda Saat Puasa: Ini 5 Tips Agar Tak Cepat Lelah Bersepeda saat Puasa
Namun, epidemiologis WHO menerangkan, belum ada bukti bahwa tes antibodi itu mampu menunjukkan seseorang yang terinfeksi Covid-19 tak akan terpapar lagi.
Banyak dari tes yang dikembangkan itu adalah tes darah kecil.
Menyerupai tes HIV instan, dan dipakai untuk mengukur kadar antibodi untuk melawan virus.
Dr Maria van Kerkhove berujar, banyak negara mengusulkan penggunaan rapid diagnostic tes serologi untuk mengukur apa yang mereka kira adalah imunitas melawan Covid-19.
Baca Juga: 5 Tips Memakai WhatsApp Saat Kerja Dari Rumah di Tengah Pandemi
"Saat ini, kami belum punya bukti penggunaan tes serologi bisa menunjukkan seseorang punya kekebalan tubuh dan tak akan terinfeksi lagi," papar dia, dikutip dari Kompas.com.
Alat tersebut digunakan untuk mengukur seroprevalence, atau kadar antibodi.
Namun, bukan berarti mereka imun dari virus corona.
Dia juga mengapresiasi jika ada banyak tes yang dikembangkan.
Hanya saja, pemeriksaan itu perlu divalidasi untuk memastikan mereka benar-benar menggelar pemeriksaan.
Pendapat Van Kerkhove diperkuat oleh koleganya, Dr Michael Ryan, yang menerangkan bahwa penggunaan tes antibodi juga memunculkan isu mengenai etika.
Dia menuturkan, WHO perlu mendalaminya secara serius dan juga melihat sejauh apa perlindungan yang bisa diberikan melalui tes tersebut.
"Anda mungkin punya seseorang yang yakin dia seropositif (telah terinfeksi), dan dilindungi dalam situasi ketika mereka telah terpapar," papar Ryan.
"Padahal, dalam kenyataannya, mereka rentan terhadap penyakit itu," lanjut dia.
WHO Sebut 6 Faktor yang Perlu Dipertimbangkan jika Suatu Negara Cabut Lockdown
Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization ( WHO) Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengingatkan setiap negara yang ingin mencabut atau melonggarkan penguncian (lockdown) agar melakukannya dengan hati-hati.
Seperti diketahui, sejumlah negara menerapkan lockdown, bahkan lebih dari satu bulan, sebagai upaya menekan penyebaran dan penularan virus corona.
Penguncian ini membuat adanya pembatasan terhadap aktivitas masyarakat di bidang sosial dan ekonomi.
Setelah kasus Covid-19 di wilayahnya dinilai menurun, sejumlah negara bersiap melonggarkan penguncian.
“Ini adalah sesuatu yang kita semua inginkan (pencabutan lonckdown), tetapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika dilakukan terlalu cepat, berisiko adanya peningkatan (kasus) yang bahkan bisa lebih buruk dari situasi kita saat ini,” ujar Tedros, dalam pidato mingguannya di Jenewa, Kamis, (16/4/2020), seperti dikutip dari Kompas.com.
Terkait hal tersebut, Tedros menyebutkan, ada 6 faktor yang harus dipertimbangkan jika suatu negara ingin mencabut kebijakan penguncian.
Pertama, kemampuan untuk mengendalikan transmisi.
“Kedua, kapasitas sistem kesehatan untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus, serta melacak setiap kontak,” ujar Tedros.
Ketiga, lanjut dia, meminimalisasi risiko wabah khususnya di fasilitas kesehatan dan panti jompo.
Keempat, melakukan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja, sekolah, dan lokasi-lokasi lain yang dikunjungi masyarakat.
Kelima, kemampuan untuk mengelola kasus impor.
“Dan keenam, bahwa masyarakat sepenuhnya dididik, dilibatkan dan diberdayakan untuk menyesuaikan diri dengan 'norma baru'” ujar Tedros.
Dalam pidatonya, Tedros juga menyebutkan, saat ini virus bergerak ke negara-negara dengan populasi yang padat sehingga physical distancing tidak mungkin dilakukan.
“Pemerintah harus mempertimbangkan bahwa untuk beberapa negara dan masyarakat, perintah tinggal di rumah mungkin tidak praktis, dan bahkan dapat menyebabkan hal yang tidak diinginkan,” kata dia.
Tedros mengatakan, jutaan orang di seluruh dunia harus bekerja untuk memastikan asupannya setiap hari.
Mereka tidak bisa tinggal di rumah untuk waktu yang lama tanpa adanya bantuan.
WHO khawatir terjadi tindak kekerasan karena sejumlah pembatasan yang dilakukan.
Ia juga menyebutkan, adanya peningkatan laporan tindak pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki dengan judul Benarkah Pasien Pulih dari Covid-19 Punya Kekebalan Tubuh? Ini Jawaban WHO
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari