Opsi lockdown juga tidak bisa serta-merta mengadopsi yang dilakukan di Wuhan, China.
Syahrizal mengatakan, Indonesia tidak memiliki sumber daya dan kemampuan untuk mengerahkan ribuan tenaga medis khusus untuk wilayah yang dikarantina seperti yang dilakukan Pemerintah China.
Pada awal Februari lalu, Pemerintah China menurunkan 1.400 dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya ke Wuhan.
Seharusnya, menurut Syahrizal, Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa merancang kebijakan yang unik, yang sesuai dengan karakteristik Indonesia.
”Pendekatannya itu tidak bisa sama dengan Korsel misalnya. Harus unik dan sesuai dengan kondisi kita,” kata Syahrizal.
Berdayakan daerah
Dengan demikian, menurut Syahrizal, penanganan Covid-19 harus mendayagunakan infrastruktur pemerintahan yang dapat menjangkau langsung masyarakat di daerah.
Model pelaksanaan kebijakan yang terpusat selama ini tidak akan bisa bergerak cepat.
Pemerintah cukup membuat protokol kebijakan yang jelas beserta indikator kinerjanya (key performance indikator).
Dengan demikian, para wali kota dan bupati bisa bergerak secara terkoordinasi dan seragam, tetapi tetap sesuai dengan karakteristik daerahnya.
”Bagaimana membuat arahan indikator keberhasilan dan langkah-langkah operasional dan strategisnya itu ditentukan (pemerintah) pusat,” kata Syahrizal.
Kemudian, untuk secara detail di masyarakatnya, struktur desa sudah harus dilibatkan dalam protokol tersebut. ”Kita, kan, sudah punya desa dan strukturnya. Nah, manfaatkan struktur yang sudah ada ini, manfaatkan kemampuan desa,” kata Syahrizal.
Menurut Syahrizal, alih-alih merancang langkah-langkah intervensi di tataran praktik, pemerintah pusat harus lebih berfokus pada hal yang lebih holistik seperti penyediaan logistik medis dan pengelolaan sumber daya tenaga kesehatan.
Artikel ini pernah tayang di Bebas.kompas.id oleh Sario PangarsoWisanggeni dengan judul "Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR