Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".
"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
2. Siapa saja terlibat?
Secara mendasar, Supersemar melibatkan Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto. Namun, surat itu tidak diberikan langsung melainkan melalui perantara tiga jenderal.
Dengan demikian, ada lima orang yang terlibat dalam penyerahan "surat sakti" tersebut. Selain Soekarno dan Soeharto, ada juga nama Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.
Soekarno selaku presiden pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, sempat mengadakan rapat Kabinet 100 Menteri. Namun, dia harus meninggalkan lokasi setelah mendengar ada pasukan tak dikenal di sekitar Istana Kepresidenan di Jakarta.
Amirmachmud selaku anggota kabinet kemudian melaporkan kondisi terakhir di Istana kepada Soeharto. Kemudian, bersama M Jusuf dan Basuki Rachmat, mereka bertiga menemui Soekarno yang sudah berada di Istana Bogor untuk menyampaikan permintaan Soeharto.
Permintaan Soeharto untuk diberikan mandat khusus tidak dianggap luar biasa oleh Soekarno, mengingat situasi pada hari-hari itu memang tidak menentu.
Demonstrasi mahasiswa menentang pemerintah berlangsung setiap hari sehingga mengganggu aktivitas pemerintah.
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 7 Maret 2010, di Istana Bogor, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil PM I/Menlu Subandrio, Wakil PM II/Ketua MPRS Chairul Saleh, dan Wakil PM III J Leimena.
Di tempat itu juga hadir Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR