Advertorial
Intisari-Online.com – Berdasarkan laporan dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, gunung Merapi kembali meletus.
Hal ini terjadi pada Selasa (3/3/2020) sekitar 05.22 WIB.
Di mana letusan terjadi selama 450 detik dengan kolom abu setinggi 6.000 meter dari kawah gunung.
Hingga saat ini, status Gunung Merapi pada level II atau Waspada.
Akibatnya, Bandara Adi Soemarmo di Solo, Jawa Tengah, ditutup sementara.
Penutupan itu diumumkan melalui notice to airmen (Notam) bernomor B0614/20 NOTAMN yang dikeluarkan AirNav Indonesia.
"Penutupan bandara untuk penerbangan sipil dikarenakan abu Gunung Merapi," tertulis dalam Notam tersebut.
Seperti diketahui bersama, pada saat ada gunung api yang mengalami erupsi atau bahkan meletus, bandara di dekat daerah gunung pasti ditutup dan semua penerbangan dibatalkan.
Apa alasannya?
Dilansir darikompas.compada tahun 2014 silam, abu vulkanik yang disemburkan gunung api juga dapat membawa aliran listrik statis.
Di bandara, tebaran abu vulkanik menyebabkan jalan pesawat menyimpang dan mengganggu sistem kelistrikan pesawat.
Ukuran partikel debu vulkanik sangat halus. Jauh lebih halus dibandingkan tepung terigu.
Karenanya, abu vulkanik sangat ringan dan bisa melayang di udara dalam waktu lama.
Dan jika dibiarkan abu vulkanik yang mengenai pesawat bisa ledakan mesin pesawat.
Penjelasan ini pun menerangkan bagaimana abu vulkanik dari letusan Gunung Krakatau pada 1883 bisa sampai ke Eropa meski sudah lewat berbulan-bulan.
Bila dilihat menggunakan mikroskop, abu vulkanik berbahan dasar silika.
Permukaannya memiliki sudut yang tajam, dengan tingkat ketajaman hanya sedikit di bawah intan.
Dalam jumlah kecil, gesekan partikel debu ini dengan logam penyusun mesin akan bersifat abrasif, menggerus.
Laporan penyelidikan atas insiden British Airways, abu vulkanik yang lolos melewati bilah mesin jet masuk lebih dalam ke ruang pembakaran yang mencampurkan oksigen dan bahan bakar, memunculkan semacam campuran leleh berkandungan abu vulkanik yang akan masuk semakin dalam ke sistem pembakaran dan pembangkitan tenaga pesawat.
Jika ketinggian pesawat masih memadai, mematikan mesin masih akan punya cukup waktu sampai mesin kembali "dingin".
Pada kondisi tersebut, uap dari yang terbentuk dari campuran abu vulkanik, oksigen, dan bahan bakar, bisa didorong keluar dari seluruh sistem mesin pesawat.
Campuran leleh tersebut juga bisa menjadi lapisan keramik abrasif yang mengubah performa aerodinamika bilah-bilah mesin jet.
Pada kondisi terburuk, merontokkan bilah itu akibat momentum gaya yang terjadi pada saat mesin berputar dengan kecepatan ekstra tinggi.
Mesin bisa meledak di udara, bila gesekan berkecepatan tinggi itu terus berlanjut.
Ada beberapa kasus kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan oleh abu vulkanik.
Tragedi yang balik kita kenal adalah pesawat British Airways.
Pada 24 Juni 1982, pesawat British Airways terbang melintas di dekat Jakarta.
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 5 April 1982, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, meletus, menyemburkan abu vulkanik yang menggelapkan Kota Tasikmalaya, Bandung, Bogor, hingga Jakarta.
Malam itu, 24 Juni 1982, kabut tipis saja masih tertinggal di atas langit Jakarta saat pesawat British Airways tersebut melintas.
Pesawat Boeing 747-236B ini dalam perjalanan dari London menuju Auckland, Selandia Baru, dengan beberapa lokasi transit ketika keempat mesinnya tiba-tiba mati.
Pesawat dengan 225 penumpang ini mendarat darurat di Bandara Halim Perdana Kusuma, menginap dua hari, dengan semua kru dan penumpang selamat.
Lalu, pada 15 Desember 1989, pesawat penumpang Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan KLM 867 rute Amsterdam-Tokyo jatuh.
Tragedi ini terjadi sehari setelah meletusnya Gunung Rodoubt di Alaska, dengan kabut debu vulkanik ada di udara kawasan tersebut.