Advertorial

Soal AS Cabut Indonesia dari Daftar Negara Berkembang, Inilah Dampak yang Akan Dialami Indonesia

Tatik Ariyani

Penulis

Dampak kebijakan tersebut tentu akan berpengaruh dalam hal perdagangan Indonesia dengan AS.
Dampak kebijakan tersebut tentu akan berpengaruh dalam hal perdagangan Indonesia dengan AS.

Intisari-Online.com -10 Februari 2020 lalu, Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (AS) atau Office of the US Trade Representative (USTR) mencabut preferensi khusus untuk daftar anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) termasuk Indonesia dalam daftar negara berkembang.

Dampak kebijakan tersebut tentu akan berpengaruhdalam hal perdagangan Indonesia dengan AS.

Dus, ke depan Indonesia tidak akan mendapatkan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) alias keringanan bea masuk impor barang dari negara berkembang.

Baca Juga: Dikhawatirkan Serang Donald Trump, Pemerintah India Persenjatai Petugas dengan Ketapel untuk Halau Hewan yang Sudah Pernah Tewaskan Seorang Bayi dan Dua Turis Ini

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Internasional (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyampaikan pihaknya mengetahui USTR telah melaporkan kajiannya bahwa Indonesia sudah naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju.

Keputusan lebih lanjut akan diumumkan resmi oleh pemerintah pusat AS.

“Ya kalau jadi negara maju tidak bisa dapat fasilitas GSP lagi. Tapi ini kan belum diputuskan, jelas kalau diputuskan GSP-nya akan dicabut dan bakal berdampak terhadap ekspor Indonesia, tapi jumlahnya tidak signifikan tapi tetap ada dampaknya,” kata Shinta di kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, Jumat (21/2).

Baca Juga: Tidak Disangka, Jika Najib Razak Dituduh Korupsi dan Bunuh Serta Ledakkan Selingkuhannya, Sang Istri Sedang Kesandung Sidang Tipikor yang Beberkan Pencucian Uang Capai 650 Milyar Rupiah!

Shinta menegaskan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mayoritas tidak menggunakan fasilitas GFT.

Misalnya tekstil sebagai salah satu barang yang memiliki nilai ekspor tinggi, tidak mendapat pembebasan tarif bea masuk ke pasar Negeri Paman Sam.

“Dampak penurunan kami belum bisa perhitungkan maksudnya ini (ekspor) yang besar-besar sudah tidak pakai GSP lagi misalnya tekstil. Yang pakai GSP kalau dari total ekspor Indonesia tidak begitu besar” ungkap Shinta.

Baca Juga: 3 Tanaman Rempah - rempah Ini Bisa Sembuhkan Demam, Simak Selengkapnya

Saat ini USTR mencatat GSP telah digelontorkan kepada 121 negara dengan total 5.062 pos tarif 8-digit sampai dengan Oktober 2019.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.572 pos tarif Indonesia mendapatkan fasilitas GSP.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) sepanjang 2018, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif yang mendapatkan fasilitas GSP naik 10% dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 2,2 miliar.

Sedangkan pada Januari-November 2019, nilai ekspor dengan fasilitas GSP naik sebesar 20% dari US$ 2 miliar menjadi US$ 2,5 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Teranyar, ada beberapa produk ekspor Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP plywood bambu laminasi, plywood kayu tipis kurang dari 66 mm, bawang bombai kering, sirup gula, madu buatan, dan caramel, serta barang rotan khusus untuk kerajinan tangan.

Pada bulan ini, pemerintah bahkan mengajukan produk hortikultura dan reasuransi sebagai penikmat GSP.

Baca Juga: Tak Habis Pikir, Wanita Ini Paksa Siswi SMP Lakukan Threesome Bersama Suaminya , Semakin Berani Setelah Paksa Korbannya Lakukan Ini Agar Tak Hamil

Yusuf Imam Santoso

Artikel ini pernah tayang di Kontan.id dengan judul "Indonesia naik kelas sebagai negara maju, Kadin: Tak dapat fasilitas GSP lagi dari AS"

Artikel Terkait