Advertorial
Intisari-Online.com -Meski terus dirongrong pasukan pemberontak dukungan AS dan pernah pula digempur militan ISIS ternyatapemerintahan Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad masih kokoh.
Pasukan reguler Suriah (National Defense Force/NDF) yang sudah tiga tahun bertempur melawan pasukan pemberontak yang notabene masih saudara sendiri memasuki pertengahan tahun 2018 ini malah makin berjaya.
NDF memang didukung oleh militer Rusia yang memilih bertempur di garis belakang sebagai supervisi dan kadang dibantu serangan udara oleh jet-jet tempur Rusia yang juga diterbangkan para pilot Rusia.
Karena merupakan perang saudara yang ditunggangi oleh kepentingan dari berbagai negara dan kelompok-kelompok kombatan militan garis keras, perang saudara di Suriah cenderung brutal karena yang terjadi adalah niat saling balas dendam.
Ketika Suriah berperang pada tahun 1973 melawan Israel, maka warga Suriah yang terdiri dari kelompok Islam Sunni, Syiah (Alawites), dan Kristen bisa bersatu.
Tapi dalam perang saudara antara warga Islam Sunni yang pro pasukan pemberontak dan warga Syiah serta Kristen yang pro rezim Bashar al Assad, peperangan di Suriah berlangsung sangat kacau dan ngawur.
Bisa dikatakan kacau dan ngawur karena sesama saudara yang hanya karena beda keyakinan dan pandangan politik bisa saling serang serta membunuh.
Sementara negara-negara lain yang turut ikut campur tangan dalam perang saudara di Suriah, seperti AS dan Rusia lebih mementingkan menguasai tambang-tambang minyak Suriah dibandingkan memperhatikan warga Suriah yang sudah terlalu lama saling bunuh itu.
Dalam kondisi seperti itu korban yang paling menderita di kalangan warga Suriah memang wanita dan anak-anak.
Maka tidak mengherankan jika banyak kaum wanita di Suriah baik yang pro Bashar al Assad maupun yang pro pasukan pemberontak turut bergabung dalam militer dan bertempur.
Baca juga:AS VS Suriah Makin Panas, Inilah 8 Negara Paling Aman untuk Berlindung Jika Perang Dunia III Terjadi
Tujuannya dua macam. Pasukan yang pro Assad bertempur demi membela Suriah dan Presiden Assad sendiri.
Sedangkan para wanita yang bergabung ke pasukan pemberontak bertujuan untuk melakukan balas dendam karena anggota keluarga, suami, anak, dan rekannya telah terbunuh dalam perang saudara.
NDF sendiri memiliki pasukan paramiliter wanita berumur 20-50 tahun sebanyak 500 personel yang terlatih dan siap membela Assad hingga titik darah penghabisan.
Pasukan wanita pembela Presiden Assad ini dikenal dengan nama Fedaya dan bertugas sebagai tentara reguler yang mendapatkan gaji tetap.
Jika sedang tidak bertugas pasukan Fedaya tetap berperan sebagai wanita biasa misalnya sebagai ibu rumah tangga.
Baca juga:(Foto) Tragisnya Nasib Anak-anak yang Diserang Gas Beracun di Perang Suriah
Dalam pertempuran, baik pasukan Fedaya maupun pasukan wanita pro pemberontak yang umumnya keturunan Palestina yang pro Hamas, mau tidak mau akan saling bunuh.
Padahal sebelum dilanda perang saudara, para wanita Suriah pernah hidup rukun dan sama sekali tidak kepikiran untuk saling melukai bahkan saling membunuh.