“’Kayaknya bukan yang ini,’ hampir selalu begitu ungkapan para arsitek setiap habis menggambar,” tutur Anneke.
Di samping mengembalikan wajah aslinya, renovasi diupayakan menggunakan material asli sesuai dengan saat pertama kali dibangun.
Material yang dapat dipertahankan sebisanya dipakai ulang.
Kuda-kuda bangunan dan genteng yang masih utuh, salah satunya.
Sekitar 40% genteng digunakan lagi di proses perbaikan bangunan.
Kesemuanya merupakan genteng berkait dua yang asli dipakai sejak awal dibangun.
Padanan yang mirip ditemukan di Serang, Banten.
Meskipun prosesnya lebih sulit, karena penggunaan genteng dengan jenis ini sudah jarang, tim arsitek mengusahakan penggunaan material yang semirip mungkin.
“Agar struktur bangunan tidak berubah,” kata Angelina Basuki, Project Administrator JOTRC.
Baca Juga: Bandoeng Holland in De Tropen, Masihkah Kota Bandung Menyimpan Bangunan Tua Bersejarah?
Rumah teh
Berseberangan dengan pasar Glodok yang padat, keberadaan bangunan eks Apotheek Chung Hwa itu tampak kontras, meski sama-sama bernuansa pecinan.
Pantjoran Tea House, begitu nama barunya.
Dindingnya kini putih susu, dengan elemen kayu di jendela dan pintu berornamen khas Cina.
Sejak resmi dipakai kembali, Desember 2015, lantai satu difungsikan sebagai ruang minum teh dan camilan.
Sudut hook bangunan dipakai sebagai toko cenderamata yang menjual beragam dauh teh.
Di teras hook, delapan teko teh gratis tersedia bagi pejalan yang sedang haus.
Dengan ruang yang lebih luas, ruang minum teh dan makan diletakkan di lantai atas.
Bangku-bangku thonet khas kopitiam melengkapi meja-meja kecil dari kayu jati berkapasitas hingga 80 pengunjung.
Partisi-partisi kayu dengan pola geometri Cina menggantikan fungsi dinding di lantai dua.
Baca Juga: (FOTO) Istanbul Kota Arsitektur Penuh Warna
Lattice ini juga berfungsi sebagai pembatas antar ruang, antara ruang VIP dan publik.
Di lantai ini, jendela juga dibuat besar-besar seperti awal berdiri, sehingga memberi kesan menyatu dengan pemandangan luar lalu-lalang di pinggir jalan.
Dengan nuansa interior Tionghoa yang kental, orang kerap memanfaatkan ruang-ruang rumah teh ini menjadi lokasi shooting dan photoshoot program televisi, iklan, dan produk bernuansakan Cina.
Tidak sedikit pula yang melaksanakan sanjit, lamaran tradisional Tionghoa di sini.
Pengunjung yang datang biasanya bersantai sore dengan minum teh dan camilan ragam dimsum.
Baca Juga: Sumba Memiliki Banyak Cerita, Begitu Juga Arsitektur Rumah Marga Sumba
Pilihan teh tersedia dari yang siap teguk sampai gongfu cha experience.
Pantjoran Tea House memang ingin merawat tradisi gongfu cha, yakni tata cara minum teh secara tradisional.
Semua teh dipetik langsung dari Cina, Taiwan, dan Indonesia, dengan pilihan jenis teh hijau sampai dong ding.
Jika memilih gongfu cha, pengunjung bisa menjajal tradisi khas Tionghoa ini berbekal kertas manual, sambil dibantu tea specialist Pantjoran Tea House.
Pengunjung bisa melihat dulu sang tea specialist menyeduh daun teh pilihannya dengan benar, baru kemudian mereka praktikkan sendiri.
Sebagai rumah bagi para penikmat teh, Pantjoran Tea House juga menjadi tempat edukasi tentang teh yang sejarahnya menjadi bagian dari kisah Pecinan di Batavia.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR