Beragam pengetahuan tentang Cina peranakan juga menjadi agenda tempat ini sepanjang tahun.
Pertunjukan barongsai, melukis kaligrafi Cina, nonton bareng short documenter series of chinese tea, tea tasting, membuat bakcang, membuat onde, menghias lampion, membuat kue bulan, dll.
Biasanya, pada hari-hari menjelang Imlek, Pantjoran akan kian ramai pengunjung yang hendak makan malam dan makan siang sekeluarga.
Tak heran, karena di samping beraneka teh, makanan yang disajikan pun otentik chinese.
Angsio fishmaw, sayur poleng rasa tiga telur, dan ayam sayur asin ang cho adalah contohnya.
Baca Juga: Selalu Jadi Suguhan Utama, Ini Makna Mendalam dari 7 Makanan Keberuntungan di Tahun Baru Imlek
Delapan teko teh
Salah satu yang menarik, di teras depan gedung, Pantjoran masih melakukan tradisi Patekoan, yaitu menyajikan delapan teko teh secara cuma-cuma untuk siapa pun yang kebetulan sedang melintas.
“Pa” secara harfiah berarti delapan, sedangkan “tekoan” adalah teko.
Angka delapan secara filosofis dianggap sebagai angka keberuntungan karena bentuknya yang tak pernah putus.
Harapannya, teh dari patekoan ini akan membawa keberuntungan baik bagi yang menyajikan maupun yang meminum.
Program teh gratis di rumah teh ini terinspirasi dari kisah kebaikan Kapitein der Chineezen Gan Djie dan istrinya.
Gan Djie merupakan Kapiten Cina ketiga di Batavia (1653-1666) yang menggantikan Phoa Beng Gam.
Bagian depan kantor Kapiten warga Tionghoa di Batavia ini seringkali menjadi tempat berteduh pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan di jalan karena hawa panas Batavia.
Saat itu sulit sekali bagi mereka mendapatkan air untuk minum.
Melihat hal ini, istri Gan Djie—yang kemudian dipanggil Nyai Gan Djie—pun mengusulkan pada suaminya untuk menyediakan air teh.
Di depan kantor kemudian dipasang meja-meja kecil yang setiap pagi dan sore hari tersedia delapan teko teh.
Delapan teko ini yang kemudian menjadi asal nama Patekoan, daerah yang kini berada di sekitar Jalan Perniagaan Raya, Glodok.
Kisah delapan teko dan rumah Gan Djie sendiri sebenarnya tidak persis terletak di Jalan Perniagaan kini, melainkan di Jalan Perniagaan Raya.
Lin Che Wei menuturkan, upaya untuk menggandeng pemilik rumah Gan Djie pada 2015 untuk bersama merevitalisasi bangunan cagar budaya tersebut telah dilakukan, jauh sebelum memutuskan merevitalisasi gedung Apotheek Chung Hwa.
Baca Juga: Dari Gereja Katedral Hingga Pasar Senen, Inilah Jejak Wajah Batavia Tempo Doeloe
Sayangnya, upaya ini terkendala kepemilikan bangunan bersama satu keluarga besar.
Kondisi ini juga terjadi ketika tim revitalisasi JOTRC berniat untuk merevitalisasi Tai San Ho, apotek tertua di Jakarta.
Lin menuturkan, itulah sebabnya sepotong kisah delapan teko Gan Djie kemudian dibawa ke gedung di mana Apotheek Chung Hwa berdiri kini, tepat di pintu masuk kawasan inti Kota Tua Jakarta dan Pecinan.
Penyisipan fungsi dalam gedung-gedung tua ini menjadi poin utama dari menyukseskan Kota Tua Jakarta sebagai situs warisan dunia.
Lin menuturkan, gedung yang belum direvitalisasi pada dasarnya bisa dimasukkan ke dalam nomination dossier of wold heritage sites UNESCO.
Akan tetapi, Lin menambahkan, tugas tim revitalisasi kemudian menjaga bangunan agar dapat kembali berfungsi hingga dicatat sebagai situs warisan dunia.
Dan agaknya, tugas kita pulalah kini untuk turut merawat kisah dan tradisi di sekitar Chung Hwa.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR