Advertorial
Intisari-Online.com – Indonesia kembali akan disajikan fenomena langka.
Pada Sabtu (11/1/2020), gerhana bulan penumbra (GBP) akan menyambangi Indonesia.
"Dengan catatan tidak tertutup awan dan hujan," kata Kabid Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (10/1/2020) pagi.
Hary menjelaskan, gerhana bulan merupakan peristiwa terhalanginya cahaya Matahari oleh Bumi, sehingga tidak seluruhnya sampai ke Bulan.
Peristiwa ini merupakan salah satu akibat dinamisnya pergerakan posisi Matahari, Bumi, dan Bulan, yang hanya terjadi saat fase purnama.
Enam gerhana pada 2020
Gerhana bulan pada Sabtu dini hari nanti merupakan gerhana bulan pertama pada 2020.
BMKG memprediksi, pada 2020 terjadi 6 kali gerhana, yakni 2 kali gerhana Matahari dan 4 gerhana Bulan dengan rincian sebagai berikut:
- Gerhana bulan penumbra (GBP) pada 11 Januari 2020, yang dapat diamati dari Indonesia.
- Gerhana bulan penumbra pada 6 Juni 2020, yang dapat diamati dari Indonesia.
- Gerhana matahari cincin (GMC) pada 21 Juni 2020, yang dapat diamati dari Indonesia berupa gerhana matahari sebagian, kecuali sebagian besar Jawa dan sebagian kecil Sumatera bagian selatan.
- Gerhana bulan penumbra (GBP) pada 5 Juli 2020, yang tidak dapat diamati dari Indonesia.
- Gerhana bulan penumbra (GBP) pada 20 November 2020, yang dapat diamati dari wilayah Indonesia bagian barat menjelang gerhana berakhir.
- Gerhana matahari total (GMT) pada 14 Desember 2020, yang tidak dapat diamati dari Indonesia.
Gerhana Bulan Penumbra 11 Januari 2020 ini merupakan anggota ke-16 dari 71 anggota pada seri Saros 144.
Gerhana bulan sebelumnya yang berasosiasi dengan gerhana ini adalah Gerhana Bulan Penumbra pada 30 Desember 2001.
Adapun gerhana Bulan yang akan datang yang berasosiasi dengan gerhana bulan ini adalah Gerhana Bulan Penumbra 21 Januari 2038.
Sering dikaitkan dengan gelombang tinggi
Adanya gerhana bulan, sering kali dikaitkan oleh banyak orang dengan adanya gelombang tinggi.
Namun, benarkah ada keterkaitan antara fenomena tersebut dengan tinginya gelombang laut saat ini?
“Keterkaitannya kecil,” kata Marufin Sudibyo, astronom amatir saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (26/07/2018).
Ia menambahkan, posisi Bulan memang bisa memberikan pengaruh terhadap peristiwa pasang surutnya air laut.
Terutama, kala posisi Bulan segaris dengan Matahari yang terjadi pada dua kesempatan: Bulan baru dan Bulan purnama.
Pada kedua posisi bulan tersebut, biasanya diikuti dengan fenomena meningkatnya tinggi permukaan laut.
Hal ini disebabkan posisi bulan yang berada pada titik terjauh dari Bumi, atau disebut titik apogee.
Peran Gerhana Bulan
Meskipun gerhana Bulan tidak memberikan dampak yang begitu besar terhadap gelombang air laut, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin menerangkan perlu adanya kewaspadaan akan pasang maksimum saat gerhana Bulan.
"Gabungan gelombang tinggi dengan pasang tinggi berpotensi menyebabkan limpasan air jauh ke darat," jelas Thomas melalui pesan singkat.
Lebih lanjut ia menjelaskan, hal ini disebabkan angin dari selatan masih cukup kencang, sekitar 30 kilometer per jam.
Inilah yang menyebabkan gelombang laut lebih dari 3 meter di Samudra Hindia.
Sementara sekitar waktu gerhana Bulan, gaya pasang surut bulan diperkuat gaya pasang surut Matahari.
Akibatnya pasang air laut menjadi maksimum.
Ia menambahkan, efek gelombang tinggi dan pasang maksimum bisa menyebabkan banjir Rob melimpas ke daratan yang lebih jauh.
Dengan adanya fenomena ini, nelayan dan kapal-kapal ukuran kecil disarankan agar tidak memaksakan diri melaut. Serta tetap waspada dan siaga dalam melakukan aktivitasnya.
(Mela Arnani/ Bhakti Satrio Wicaksono)
(Artikel ini telah tayang diKompas.com dengan judul "Catat, Ini Waktu Puncak Gerhana Bulan pada 11 Januari 2020")