Advertorial
Intisari-Online.com -Umumnya, label sebagai orang kaya, apalagi orang terkaya, akan membuat seseorang didekati oleh banyak orang.
Berbagai pihak berlomba-lomba untuk menjadi orang yang dikenal, bahkan kalau bisa menjadi orang kepercayaan dari orang terkaya tersebut.
Tidak jarang, pihak pemerintah pun berusaha untuk mendekati orang-orang dengan label "terkaya" tersebut.
Namun, sebuah anomali, bahkan bisa disebut ironi terjadi pada orang terkaya di Hong Kong.
Ya, gejolak politik di Hong Kong membuat orang terkaya Hong Kong Li Ka-shing sedang dalam posisi serba salah.
Belum lama ini, Li menunjukkan rasa simpatinya ke para pengunjuk rasa. Ia meminta pihak berwenang untuk memberi keringanan hukuman kepada para demonstran muda.
Gara-gara ucapannya ini, Partai Komunis China menuduh Li Ka-shing berupaya "menyembunyikan kriminalitas."
Sebaliknya para pengunjuk rasa juga tak menyambut rasa simpati Li Ka-shing tersebut.
"(Dia adalah salah satu) penerima manfaat dari sistem yang tidak adil," kata Penny Lok, seorang pemrotes berusia 36 tahun seperti dikutip Nikkei Asian Review, Jumat (3/1).
Aksi protes berkepanjangan para pengunjuk rasa Hong Kong terhadap China membuat posisi Ka-shing serba salah dan ambigu.
Saat ini Li memiliki kekayaan pribadi sebanyak US$ 27 miliar dan menciptakan kerajaan bisnis yang luas dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan sehari-hari di Hong Kong. Dan dia bisa bermurah hati dengan kekayaannya.
Dalam dua bulan terakhir, Li mendistribusikan dana sebesar HK$ 1 miliar (US$ 128 juta) untuk membantu pebisnis lokal yang dilanda kerusuhan yang mengguncang Hong Kong.
Sekitar 28.000 perusahaan ritel, pariwisata, dan katering, serta pedagang asongan, masing-masing menerima bantuan hingga HK$ 60.000 melalui yayasan Li.
Menurut Simon Wong, Ketua Asosiasi Makanan dan Masakan Jepang di Hong Kong, uang dari Li itu menjadi bantalan yang sangat dibutuhkan para pebisnis restoran. "Seluruh proses sangat cepat, dan sebagian besar menerima uang segera setelah mengajukan aplikasi," kata Wong kepada Nikkei Asia Review.
Tetapi ada ironi dari kemurahan hati Li tersebut: kekayaannya yang besar melambangkan ketidaksetaraan sosial yang lebar.
Kata Wong, meski membantu, namun bukan uluran dana dari Li yang mereka butuhkan.
"Yang paling kami butuhkan dari tuan tanah adalah pengurangan sewa," kata Wong.
Beberapa pengembang, termasuk Li - yang memiliki 15 pusat perbelanjaan di Hong Kong - telah sepakat untuk memotong harga sewa meskipun ada penurunan tajam dalam pendapatan toko.
Sewa merupakan biaya tunggal terbesar bagi banyak bisnis di Hong Kong. Peritel di Hong Kong biasanya menghabiskan 40% anggaran mereka untuk sewa, dan sekitar 25% bagi pemilik restoran, menurut data statistik pemerintah Hong Kong pada 2017.
"Kita tidak bisa bertahan dalam keadaan seperti ini," kata Wong.
Sementara Li merangkul peran ganda sebagai kapitalis yang kejam dan dermawan, komentar Li yang samar-samar tentang masalah-masalah politik tidak membuat dia disukai kedua belah pihak, China maupun pengunjuk rasa.
Tidak seperti pengembang properti yang bisnisnya terutama di Hong Kong dan China, Li memiliki portofolio beragam yang mencakup Asia, Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
"Li perlu mempertimbangkan kedua belah pihak. Dia tidak bisa dianggap sebagai pengikut tajam Partai Komunis, juga tidak bisa berperilaku seperti pendukung demokrasi," kata Joseph P.H Fan, Profesor di Fakultas Akuntansi dan Keuangan Keuangan di The Chinese University of Hong Kong.
Tahun lalu, perusahaan utama Li, CK Hutchison Holdings, menghasilkan lebih dari 80% laba dan pendapatannya di luar Hong Kong dan China daratan.
"Turunnya sebagian besar bisnisnya di luar negeri berarti Li sanggup mengambil risiko menyinggung Beijing lebih dari perusahaan lain, seperti Cathay Pacific Airways," kata Fan.
Namun, pada saat yang sama, keluarga Li masih memiliki pengaruh yang mengejutkan di Hong Kong. Dari properti dan ritel hingga transportasi dan telekomunikasi, hampir setiap aspek kehidupan di bekas jajahan Inggris tersentuh oleh kerajaan bisnis Li.
Namun keberhasilan itu bisa menjadi bumerang, ketika orang-orang muda marah atas kesenjangan di Hong Kong.
"Sebagai bagian dari kepentingan pribadi, (taipan) harus berbagi kekayaan mereka dengan orang-orang dengan ketidakpuasan terdalam sebelum masalah meledak," kata Fan. "Ini lebih seperti biaya perlindungan untuk (keuntungan) mereka sendiri."
Victor Zheng, asisten direktur Institut Studi Asia-Pasifik Hong Kong setuju bahwa diperlukan tindakan, tetapi para taipan Hong Kong harus melakukan lebih dari sekadar memberi sumbangan.
"Dalam pandangan saya, jika mereka tidak menangani dengan baik masalah harga sewa dan kurangnya mobilitas sosial, mereka pada akhirnya akan terluka, seperti bumerang," kata Zheng.
Miliarder di tempat lain sudah melakukan upaya untuk menutup kesenjangan kekayaan. Awal tahun ini, Warren Buffett dan Bill Gates - dua orang terkaya di dunia - menyerukan pajak yang lebih tinggi bagi orang kaya di Amerika Serikat.
Buffett berpendapat bahwa dalam suatu sistem di mana industri menjadi semakin terspesialisasi, tidak dapat dihindari bahwa orang kaya menjadi lebih kaya.
Kecenderungan itu terutama dialamatkan ke Hong Kong. Kota ini dinilai sebagai salah satu ekonomi kapitalis paling bebas di dunia berkat tarif pajaknya yang rendah dan campur tangan pemerintah yang minimal.
Karena kebijakan "satu negara, dua sistem", Hong Kong menikmati otonomi yang tinggi.
Namun hasilnya adalah ironi lain: kesenjangan sosial kian menganga dan ini salah satu kaum muda Hong Kong turun ke jalan sejak pertengahan tahun lalu.
Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Ironi orang terkaya Hong Kong: Dicurigai China, dibenci para pengunjuk rasa".
Baca Juga: 'Be Water', 7 Taktik Aksi Massa Ini Buktikan Warga Hong Kong Demo dengan Andalkan Otak, Bukan Otot