Sebelumnya, mari kita merujuk pada laporan The New York Times pada November 2018.
Saat itu, Amerika Serikat dikabarkan telah mencapai kesepakatan kerangka kerja untuk penjualan pembangkit listrik tenaga nuklir ke Kerajaan Arab Saudi. Kesepakatan itu dikatakan bernilai hingga AS$80 miliar.
Mendapat sorotan terkait sumber uranium, Riyadh bersikeras membuat bahan bakar nuklirnya sendiri, meskipun lebih murah untuk membeli di luar negeri.
Padahal, banyak yang takut proyek pembangkit listrik tersebut hanyalah kamuflase pihak Arab Saudi untuk membangun sebuah proyek bom atom di negara kaya minyak tersebut, seperti dikhawatirkan para pejabat intelijen AS.
Namun, faktanya pemerintah AS juga sahabat dekat mereka di Timur Tengah, Israel, tidak terlalu mengkhawatirkan akan potensi tersebut.
Monarki Saudi ditenangkan, dan, pada gilirannya, terus menjelek-jelekkan teokrasi Iran - pandangan dunia yang keras dengan dasar-dasar geopolitik yang sederhana.
Kedekatan hubungan Amerika Serikat-Arab Saudi sendiri berawal sejak Perang Dunia II, saat terjadi pertemuan antara Presiden Franklin D. Roosevelt dan pendiri kerajaan, Ibn Saud, pada 20 Februari 1945, di atas USS Quincy di Danau Great Bitter dekat Kairo.
Sejak saat itu, Arab Saudi mengirimkan minyak ke AS dengan persyaratan preferensial, dan AS telah membalasnya dengan menjamin keamanan monarki Saudi, terutama dalam bentuk ekspor senjata dalam jumlah besar - hampir 10 persen dari seluruh penjualan senjata AS pergi ke Arab Saudi.
Senjata untuk minyak - ini adalah salah satu pilar hubungan khusus antara kedua belah pihak.
Baca Juga: Jika AS dan Iran Berperang, Siapa yang Lebih Unggul? Ini Perbandingan Kekuatan Militer Keduanya
KOMENTAR