Advertorial

Jangan Salah, Meski Selalu dapat Nilai A Karena Saking Pintarnya Saat Sekolah, Ilham Habibie pun Pernah Jeblok Gara-gara Ini

K. Tatik Wardayati

Editor

Ibu yang memberiku hadiah piano pada saat aku berusia empat tahun, tidak berkecil hati atas keputusan Ayah.
Ibu yang memberiku hadiah piano pada saat aku berusia empat tahun, tidak berkecil hati atas keputusan Ayah.

Intisari-Online.com – Siapa pun mengenal BJ Habibie memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi (IQ-nya 200), apalagi bila melihat karya-karyanya.

Dan ini ternyata juga menurun pada anak-anaknya, termasuk Ilham Habibie.

Tak heran, karena saking cerdasnya, Ilham pun meraih nilai A di semua mata pelajaran.

Namun, rupanya ini justru membuat Ilham merasa bosan dengan sekolah.

Baca Juga: Kaleidoskop Intisari 2019: Antar BJ Habibie Menuju Peristirahatan Terakhir, Begini Kesaksian Sopir Mobil Jenazah Sang Presiden RI ke-3 Tersebut

Kisahnya tertuang alam Buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.

Tindak tanduknya dalam mendidik diriku, membuatku cenderung menganggapnya sebagai "pembina".

Ibu mengajarkan seni berdisiplin, pengenalan agama, kemandirian yang luar biasa.

Sementara perihal pemikiran makro prinsip hidup, ideologi, nasionalisme, aku dapatkan dari Ayah.

Baca Juga: Kaleidoskop Intisari 2019: Jarang Diekspos, Inilah Sosok Ilham Habibie Putra BJ Habibie, Tak Lancar Bahasa Indonesia dan Ingin Wujudkan Mimpi Sang Ayah

Kegemaranku main piano sejak usia sembilan tahun juga kudapat dari Ibu.

Sejak awal, Ayah sudah bercita-cita agar aku mendalami bidang teknik, dan memang aku sudah mewujudkannya.

Namun, untuk menjadi seorang pianis seperti keinginan guru pianoku yang ambisius, ditentang habis-habisan oleh Ayah. Ia bersikukuh agar aku menjadi seorang insinyur, bukan pianis!

Ibu yang memberiku hadiah piano pada saat aku berusia empat tahun, tidak berkecil hati atas keputusan Ayah.

Baca Juga: Kaleidoskop Intisari 2019: Sandingkan Foto SBY dan BJ Habibie, Warganet: Ketika 2 Presiden Menangis Karena Kehilangan Tulang Rusuknya

Bukankah aku juga tidak diarahkan untuk mengikuti suatu kompetisi dunia di bidang musik.

Namun, pengarahan ibuku sebagai "pembina" untuk menyukai musik - dalam hal ini piano – menjadikan kegemaranku ini sebagai keseimbangan yang pas untuk hidupku.

Lagi-lagi, Ibu tampil sebagai pembina yang bijak pada masa aku mengalami masa pra remaja yang menggelisahkan.

Meski ia tak pernah mendorong kelak aku harus jadi apa, namun ada motivasi yang begitu kuat agar aku pandai mengendalikan diri dan fokus pada sekolah supaya tidak gagal dalam pendidikan.

Baca Juga: Lim Keng Kie, Sosok Sahabat Kental BJ Habibie Sejak SMA hingga Kuliah di Jerman, Namun Terpisah Karena Isu G30S/PKI

Salah satu contoh yang kualami waktu aku duduk di kelas I SMP di Hamburg. Aku nakal dan bosan bersekolah.

Meski selalu mendapat nilai "A" aku merasa seperti seorang badut dan tak memiliki tantangan. Akhimya, pada waktu aku masih berusia 13 tahun, langsung naik ke kelas III.

Bergaul dengan kawan-kawan yang tidak seusia, aku terjebak dan belum siap memasuki pergaulan remaja yang menghebohkan.

Baca Juga: Merajut Mimpi Indonesia Punya Pesawat Sendiri, Mengenang Sejarah Dirgantara Tanah Air Mulai dari Nurtanio hingga BJ Habibie

Pada masa itu, remaja Jerman tahun 1970-an suka berpesta. Aku ikut-ikutan teman untuk menghadirinya. Dampaknya buruk sekali.

Teman-teman baru, suasana yang berbeda, membuatku begitu tertekan hingga nilai-nilaiku merosot.

Lagi-lagi, ibuku yang lemah lembut, dengan sabar dan telaten "membinaku" agar fokus kembali pada kegiatan sekolah. (ktw)

Baca Juga: Nurtanio, Pembuat Pesawat Bersenjata Pertama Indonesia, Sosok 'Pahlawan Pesawat Terbang' Tanah Air Selain BJ Habibie

Artikel Terkait