Advertorial
Intisari-Online.com – Para penggemar K-Pop pasti sudah tahu soal kasus Burning Sun.
Kasus Burning Sun merupakan kasus narkoba dan prostitusi yang menyangkutmantan anggota BIGBANG Seungri, para petinggi, serta artisKorea Selatanlain.
Karena kasus ini, anggota BIGBANG lainnya mulai berhati-hati. Termasuk soal percakapan mereka.
Seperti diketahui, kasus Burning Sun terkuak melalui aplikasi pengiriman pesan, KakaoTalk.
Nah, melihat hal ini, para penggemar BIGBANGmenemukan bahwa anggota BIGBANG lainnya telah beralih menggunakan Telegram.
Hal ini mereka sadari ketika T.O.Pmengunggah sebuah Instastory di akun Instagram pribadinya.
Dalam Instastory tersebut, T.O.P mengunggah percakapannya dengan G-Dragon melalui Telegram.
Dilansir dari Grid.ID yang mengutip Allkpop.com pada Sabtu (16/11/2019), T.O.P dan G-Dragon berbincang tentang sebuah lukisan yang dibuat G-Dragon untuk T.O.P.
Netizen Korea Selatan menilai bahwa menggunakan Telegram akan lebih aman daripada menggunakan KakaoTalk.
Alasannya aplikasiTelegrammemiliki tingkat privasi yang tinggi dibandingKakaoTalk dengan adanya fitur enkripsi dan chat rahasia.
Disukai teroris
Karena aplikasi Telegram sangat aman, maka Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO layanan pesan Instan Telegram, mengungkapkan Telegram digunakan para teroris.
Ketika berbicara pada September 2015 silam, Durov menjelaskan bahwa mereka gemar memakai Telegram untuk berkomunikasi dan mengoordinir aksi teror lewat aplikasi pesan instan tersebut.
Telegram dipandang “aman” lantaran obrolan para penggunanya tak bisa disadap.
Durov sendiri ketika itu sudah tahu bahwa ada aktivitas grup teroris negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Telegram.
Tapi dia bersikeras menjunjung tinggi faktor keamanan privasi yang memang sudah lekat dan menjadi ciri khas Telegram semenjak dirilis empat tahun lalu.
“Kami tak harus merasa bersalah. Kami melakukan hal yang benar, yakni melindungi privasi pengguna,” imbuh Durov.
Entah ada kaitannya atau tidak, hanya dalam waktu sebulan setelah Durov menyampaikan statement, pada Oktober 2015, jumlah follower channel Telegram yang dioperasikan oleh ISIS tercatat naik dua kali lipat menjadi 9.000 pengguna.
Layanan chatting ini kemudian berulang kali dipakai sebagai medium komunikasi dan koordinasi para pelaku terorisme dalam melancarkan aksinya di berbagai belahan dunia.
Telegram, antara lain, digunakan untuk berkomunikasi oleh pelaku serangan di Paris pada 2015, serangan malam tahun baru 2017 di Turki, dan serangan di St. Petersburg pada April 2017.
Di Indonesia, sejumlah tersangka terorisme yang ditangkap pada Desember 2016 mengaku belajar membuat bom dengan mengikuti arahan lewat Telegram.
Sebuah studi yang dirilis beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Telegram menjadi platform komunikasi pilihan untuk para pelaku terorisme, seperti grup ISIS dan Al-Qaeda.
Tetapi ada apa di balik kesukaan mereka terhadap Telegram?
Sejak awal, Layanan chatting tersebut diketahui selalu mengedepankan diri sebagai platform messaging yang aman dari intipan pihak lain.
Fiturnya dalam hal ini termasuk enkripsi end-to-end yang mencegah pesan dicegat dan dibaca, kecuali oleh pengirim dan penerima.
Keunikan Telegram dalam hal privasi dan sekuriti membuatnya berhasil merengkuh hingga 100 juta pengguna pada 2016.
Namun, Jade Parker, peneliti senior dari grup riset TAPSTRI yang berfokus pada penggunaan internet oleh teroris, mengungkapkan bahwa enkripsi penjamin kerahasiaan bukanlah satu-satunya faktor yang menarik teroris ke platform Telegram.
Enkripsi telah ikut diterapkan penyedia layanan sejenis seperti WhatsApp, namun Telegram masih berada selangkah di depan karena menyediakan berbagai fasilitas lain untuk memudahkan komunikasi, baik yang bersifat rahasia ataupun terbuka, dari individu ke individu ataupun menarget kalangan yang lebih luas.
Channels di Telegram misalnya, bersifat terbuka untuk publik dan bebas diikuti oleh pengguna lain (follower).
Karena itu pula, channels sering digunakan oleh teroris sebagai sarana untuk menyebar propaganda, dengan cara broadcast konten. Ada juga groups, private message, dan Secret Chat.
Fitur yang disebut terakhir ini terbilang istimewa karena menerapkan enkripsi client-to-client.
Semua pesan yang terkirim dienkripsi dengan protokol MTProto.
Berbeda dari pesan biasa di Telegram yang bisa diakses dari berbagai perangkat karena berbasis cloud, pesan Secret Chat hanya bisa diakses melalui dua perangkat, yakni perangkat pengirim yang menginisiasi percakapan dan perangkat penerima. (kompas.com / Oik Yusuf)