Advertorial
Intisari-Online.com -Presiden Joko Widodo menunjuk Kepala RSPAD Gatot Soebroto Mayjen dr Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan.
Hal itu dibenarkan Terawan saat ditanyai wartawan setelah ia bertemu Jokowi di Istana kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
"Ya benar (Menteri Kesehatan)," ujar Terawan.
Lantaran ditunjuk jadi Menteri Kesehatan, Terawan akan mundur dari keanggotaan TNI setelah dilantik sebagai Menteri Kesehatan di Istana Kepresidenan, Rabu (23/10/2019).
"Harus mundur, jadi saya mungkin begitu dilantik saya langsung pensiun (dari TNI)," ujar Terawan, seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia mengatakan, sebagai pembantu presiden, tentunya harus menyukseskan visi dan misi Jokowi, khususnya di bidang kesehatan.
"Saya harus fokus membantu bapak presiden dalam kabinet ini sehingga visi misi beliau bisa tercapai. Kita cari apa yang menjadi akar persoalannya. Harapannya bisa terselesaikan dengan baik dan bisa membahagiakan semuanya," kata Terawan.
Terlepas dari jabatan Menteri Kesehatan yang diembannya saat ini, dokter Terawan bukanlah orang sembarangan.
Dokter Terawan bahkan dikenal sebagai penemu metode 'cuci otak' yang bisa sembuhkan stroke dalam sekejap.
Hal ini pernah dibahas di Majalah Intisari dalam edisi Januari 2013.
Stroke bisa berupa perdarahan di otak (hemoragik), bisa pula berupa penyumbatan pembuluh darah di otak (iskemik).
Digital Subtraction Angiografi (DSA) adalah kateterisasi pada pembuluh darah di otak.
Berfokus pada masalah-masalah iskemik, dan prinsip kerjanya mirip kateterisasi pada jantung.
Dulu dr. Terawan, Kepala Sub-Radiologi Instalasi Radionuklir RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dan timnya mengawali aplikasi DSA, yang merupakan salah satu aktivitas dari radiologi intervensi, pada pengobatan kanker.
Metode yang dikembangkan adalah Trans Arterial Chemo Infusion (TACI), yakni memberi obat kemoterapi langsung ke tumor.
Prosedurnya sama, yakni memasukkan kawat kateter ke dalam pembuluh darah dan mengoperasikannya dengan panduan gambar pada layar fluoroskopi.
Tapi dalam perkembangan selanjutnya ia melihat, angka prevalensi stroke lebih tinggi ketimbang kanker. Kasusnya juga lebih merata, bahkan menjadi salah satu ancaman kematian tertinggi.
“Dan kebetulan metode ini bisa diaplikasikan pada pembuluh darah otak,” kata kolonel TNI-AD kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964, dokter lulusan Universitas Gadjah Mada kemudian mendalami radiologi di Universitas Airlangga, ini.
Sekalipun di negara maju prosedur sejenisendovascular surgeryseperti DSA itu sudah banyak diterapkan, di dalam negeri belum semua kalangan medis menerima.
Menyembuhkan stroke hingga tanpa bekas – sejauh interval masa serangan dengan tindakan tak lebih dari empat jam (enam jam kalau pada pembuluh arteri) – masih dianggap sebagai keajaiban.
“Tapi ini kerja tim. Semua sudah diukur, dikalkulasi, didiskusikan, dibahas secara medis. Jadi ilmiah. Kalau ada keraguan juga dibicarakan,” kata dr. Terawan.
Banyak orang telah tertolong. Tidak hanya dalam fase rehabilitasi pasca-stroke, tapi juga untukpreventionatau pencegahan.
Ia kadang heran dengan perilaku konsumen kesehatan di negeri ini. “Sesuatu yang murni medis-ilmiah masih diragukan, sementara Mak Erot punya banyak pasien dan Ponari didatangi orang tanpa berusaha mengkritisi,” katanya sambil tersenyum.
Tim dr. Terawan berniat mengembangkan sebuah pusat penanganan penyakit yang berhubungan dengan otak(CerebrovascularCenter).
Target mereka adalah menekan serendah mungkin angka prevalensi stroke di Tanah Air. Tentu semua itu bukannya tanpa kendala.
Kesamaan cara pandang dan pemikiran di kalangan dokter tidak mudah. Belum lagi upaya itu melibatkan alat dan teknologi yang mahal harganya.
“Ya tidak apa-apa, semuanya ini ‘kan demi rakyat. Sesuatu yang mahal dan terkesan mewah menjadi tidak terasa ketika kita merasakan manfaatnya bagi rakyat.”
(Ditulis oleh: Mayong S. Laksono. Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Januari 2013)