Advertorial

Arteria Dahlan Tak Terima DPR 'Dihujat' Emil Salim: DPR 2014-2019, Syarat Kontroversi, Kebanyakan Soal 'Perut' bukan Soal Rakyat

Ade S

Penulis

Pantaskah Arteria Dahlan merasa geram setelah DPR 'dihujat' oleh Emil Salim? Mari kita lihat saja kinerja mereka di periode 2014-2019.
Pantaskah Arteria Dahlan merasa geram setelah DPR 'dihujat' oleh Emil Salim? Mari kita lihat saja kinerja mereka di periode 2014-2019.

Intisari-Online.com -Debat antara politikus PDIP Arteria Dahlan dan ekonom Emil Salim berlangsung panas dalam program Mata Najwa episode Ragu-ragu Perpu, Kamis (10/10/2019).

Saking panasnya, Arteria Dahlan sampai menunjuk-nunjuk dan menyebut Emil Salim sesat.

"Mana Prof, saya di DPR, Prof. Nggak boleh begitu Prof, saya yang di DPR saya yang tahu, mana, Prof sesat, ini namanya sesat," kata Arteria memotong pernyataan Emil tentang kewajiban dalma UU KPK untuk menyampaikan laporan.

Argumen tersebut disampaikan Arteria sambil menunjuk-nunjuk ke arah Emil.

Baca Juga: Viral Gaji Bupati Banjarnegara Rp5,9 Juta, Ini Perbandingannya dengan Gaji PNS, Gubernur, DPR, Menteri, Hingga Presiden

Ditanya mengenai sikapdirinyatersebut, Arteria mengakui bahwa Emil Salim tidak berbicara dalam kapasitasnya sebagai ekonom.

Selain itu, dia juga menganggap Emil Salim menghujat institusi DPR secara tidak pantas.

Nah, terkait dengan tidak terimanya Arteria yang merupakan anggota DPR periode 2014-2019, pantas kiranya kita melihat sejenak bagaimana kinerja, atau lebih tepatnya kontroversi, yang dibuat oleh para anggota DPR periode 2014-2019.

Benarkah institusi tersebut tidak pantas dihujat?

Baca Juga: Baru Beberapa Hari Jadi Anggota DPR, Mulan Jameela Sudah Dituntut Ganti Rugi Rp10 Miliar, Ini Alasannya

Kinerja para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 menjadi sorotan, terutama mengenai berbagai kontroversi yang terjadi dalam perjalanan lima tahun ini.

Terakhir, lembaga legislatif ini mendapatkan protes keras karena "ngebutnya" pembahasan revisi UU yang dianggap krusial, seperti UU KPK dan sejumlah rancangan undang-undang yang akan disahkan.

Protes ini pun berkembang menjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah.

Selain itu, selama lima tahun terakhir, DPR mencatatkan sejumlah kontroversi lain sejak awal perjalanannya pada 2014.

Apa saja?

Pimpinan DPR tandingan

Kegaduhan di tubuh DPR sudah terjadi sesaat setelah dilantik, 1 Oktober 2014.

Kala itu, dua kubu di parlemen yakni Koaliasi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih memperebutkan kursi Pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan.

Baca Juga: Penasaran Dengan Gaji DPR Periode 2019-2024? Ini Rinciannya, Gaji Pokoknya Tak Sebesar yang Anda Bayangkan!

Dalam sidang paripurna yang dipimpin anggota tertua DPR, Otje Popong Djunjunan, para anggota KIH mengajukan protes mengenai sistem pemilihan pimpinan secara paket dan bukan sesuai perolehan suara tertinggi saat pemilihan legislatif.

Namun, protes para anggota KIH tidak diterima.

Akhirnya, mereka walk out dan memutuskan tidak bertanggung jawab terhadap hasil paripurna.

Hal ini kemudian membuat Popong akhirnya mengesahkan lima pimpinan DPR yang diusung KMP, yakni Setya Novanto (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Agus Hermanto (Demokrat), dan Taufik Kurniawan (PAN).

Keputusan tersebut membuat KIH membentuk DPR tandingan.

Situasi ini berlangsung selama dua bulan hingga akhirnya pada November, KIH dan KMP sepakat meneken kesepakatan damai.

Namun, dalam kesepakatan itu, KIH mendapatkan satu kursi pimpinan di setiap komisi dan AKD.

Kesepakatan ditandatangani oleh Hatta Rajasa dan Idrus Marham (KMP) serta Pramono Anung dan Olly Dondokambey (KIH).

Baca Juga: Viral Anggota DPR Bawa 3 Istrinya ke Pelantikan: Hati-hati, Pria yang Beristri Banyak Berisiko Tinggi Kena Serangan Jantung!

Dana pensiun seumur hidup

Isu uang pensiun bagi anggota DPR memicu kontreversi menjelang berakhirnya periode jabatan eksekutif dan legislatif pada Oktober 2019.

Adapun uang pensiun akan tetap diberikan meski anggota Dewan hanya menjabat selama satu periode atau lima tahun.

Uang pensiun anggota DPR yakni 60 persen dari gaji pokok setiap bulan yang nantinya disesuaikan dengan jabatan yang dipegang.

Pemberian dana pensiun bagi anggota Dewan dinilai tidak diperlukan mengingat kinerja lembaga yang tidak memuaskan.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, anggota Dewan tidak layak mendapatkan fasilitas ini dari negara, apalagi untuk seumur hidupnya.

Menurut dia, anggota dewan merupakan jabatan politis yang diterima atas kepercayaan dari rakyat dalam jangka waktu tertentu.

Dengan demikian, ia menyebut, mempertimbangkan alasan tersebut, maka tak cukup alasan untuk membenarkan adanya dana pensiun bagi anggota DPR.

Baca Juga: Kekayaan Puan Maharani Capai Rp363,7 Miliar, Ini Ragam Harta Wanita yang Sekarang Jadi Ketua DPR

Wacana renovasi kompleks parlemen

Wacana renovasi Kompleks Parlemen, Senayan, pertama kali mencuat saat Ketua DPR Setya Novanto menyampaikannya dalam pidato penutupan masa sidang III tahun sidang 2014/2015.

Saat itu, ia menyebutkan, Presiden Joko Widodo akan menandatangani peresmian pembangunan dan melakukan peletakaan batu pertama seusai penyampaian pidato nota keuangan pada 16 Agustus 2015.

Menurut dia, ada tujuh proyek yang direncanakan, yakni pembangunan museum danperpustakaan, alun-alun demokrasi, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR,.

Kemudian penambahan fasilitas visitor center, ruang pusat kajian legislasi, ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja angota dewan.

Meski rencana itu telah disampaikan, Presiden Jokowi menolah meresmikan pembangunan ketujuh proyek tersebut.

Saat itu, Jokowi mengungkapkan ingin ada usulan yang jelas terlebih dahulu dari DPR sebelum meresmikan proyek ini.

Baca Juga: Baru Kemarin Dilantik, 335 Anggota DPR dan DPD Tak Hadiri Sidang Paripurna Hari Ini

Dana aspirasi

Setelah wacana renovasi Kompleks Parlemen, DPR kembali mewacanakan program dana aspirasi daerah pemilihan.

Melalui program ini, setiap anggota Dewan akan mendapatkan dana hingga Rp 20 miliar per orang untuk membangun dapilnya.

Dengan demikian, total dana aspirasi yang akan dikucurkan mencapai Rp 11,2 triliun.

Tim pengusul saat itu mengklaim bahwa dana ini akan berguna untuk membantu pemerintah melakukan pembangunan di daerah.

Adanya penolakan sejumlah pihak akhirnya membuat pemerintah memutuskan menolak usulan dana aspirasi ini dan tidak mengalokasikannya dalam APBN 2016. Pemerintah akan fokus pada sektor yang dianggap bisa menggerakkan perekonomian rakyat.

Kenaikan tunjangan

Isu lain yang menuai kontroversi adalah adanya wacana mengenai permintaan kenaikan tunjangan bagi anggota parlemen yang digagas Kesekretariatan DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR.

Baca Juga: Jadi Perempuan Pertama yang Jabat Ketua DPR, Puan Maharani Teruskan Tradisi 'Serba Pertama' Trah Politik Soekarno

Tunjangan yang diusulkan naik meliputi tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan langganan listrik dan telepon.

Publik pun kembali mengkritik kenaikan tunjangan itu.

Namun, berbeda dari usulan sebelumnya yang ditolak, usul ini diterima dan mendpat persetujuan dari Menteri Keuangan. Namun demikian, kenaikan tunjangannya tidak sebesar usulan DPR.

Kampanye Donald Trump

DPR juga sempat membuat heboh publik saat kampanye Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump pada 2015.

Ketika itu, rombongan anggota dewan beserta dengan Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon melakukan kunjungan kerja ke AS dan turut hadir di lokasi kampanye Trump.

Bahkan, mereka diperkenalkan kepada publik.

Akibat kejadian itu, Novanto bersama dengan Fadli Zon sempat dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan dan mendapat teguran.

Baca Juga: Kisah Para Perempuan di Parlemen, Usia 23 Tahun Jadi Anggota DPR Hingga Perempuan Pertama yang Jadi Ketua DPR

MKD menjatuhkan sanksi ringan kepada dua pimpinan DPR tersebut.

RUU Pengampunan Nasional

DPR mengusulkan adanya RUU Pengampunan Nasional.

Di dalam draf RUU tersebut, yang dimaksud dengan Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan.

Selain itu, Pengampunan Nasional juga ditujukan untuk mengampuni sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.

Adapun besaran tarif uang tebusan berkisar antara tiga sampai delapan persen.

Baca Juga: Kisah Para Perempuan di Parlemen, Usia 23 Tahun Jadi Anggota DPR Hingga Perempuan Pertama yang Jadi Ketua DPR

Revisi Undang-Undang MD3

Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dinilai diwarnai kepentingan politis.

Bahkan, dalam kurun waktu lima tahun saja, UU MD3 direvisi sebanyak tiga kali.

Revisi pertama disahkan 5 Desember 2014, revisi kedua 12 Februari 2018, dan terakhir 16 September 2019.

Tiga kali revisi tersebut berisi tentang mengubah aturan soal jumlah kursi pimpinan MPR. Pada awalnya, kursi pimpinan MPR berjumlah lima, lalu berubah menjadi delapan.

Kemudian, kursi pimpinan terakhir bertambah menjadi 10 orang yang terdiri dari satu ketua dan sembilan wakil ketua.

Hal ini dilakukan guna mengakomodasi agar setiap fraksi di DPR mendapat jatah pimpinan.

Baca Juga: Mengenal Hillary Lasut, Anggota DPR Termuda yang Baru Dilantik dan Pernah Tolak Tawaran Kerja di Bank Dunia yang Berkantor di Spanyol

Penetapan Irjen Firli sebagai Ketua KPK

Komisi III DPR secara bulat tanpa debat berkepanjangan langsung menetapkan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

Penetapan ini dilakukan di tengah kritik dan kontroversi. Bahkan keputusan penetapan ini dilakukan saat dini hari.

Sejak namanya mencuat sebagai salah satu calon pimpinan KPK, sejumlah pihak mulai mengkritik rekam jejaknya yang dianggap kontroversi.

Langkahnya mendapat sorotan dari pegawai KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Capim KPK.

Penolakan itu berasal dari penyidik dan pegawai lainnya yang merasa gelisah karena Firli pernah melanggar kode etik saat menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK dan tidak mengakuinya.

Selain itu, Firli terungkap terjerat dugaan pelanggaran kode etik.

Awalnya, isu yang mengerucut dalam pelanggaran kode etik ini adalah menyangkut pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB).

Pertemuan itu dianggap bermasalah, lantaran saat itu KPK berupaya melakukan penyelidikan dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Sumber: Kompas.com (Yoga Sukmana, Rakhmat Nur Hakim, Fitria Chusna Farisa, Christoforus Ristianto, Ihsanuddin, Kristian Erdianto, Dani Prabowo)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "DPR 2014-2019 dan Sejumlah Kontroversinya dalam 5 Tahun Ini...".

Baca Juga: Dilantik Jadi Anggota DPR RI, Ternyata Kekayaan Krisdayanti Ditaksir Capai Rp271 Miliar!

Artikel Terkait