Advertorial
Intisari-Online.com -Beberapa hari yang lalu, tepatnya 5 Oktober 2019, Tentara Nasional Indonesia (TNI) genap berusia 74 tahun.
Tujuh puluh empat bukanlah usia yang muda, tela ada banyak hal yang dilakukan TNI hingga sekarang.
Bicara mengenai 'masa muda' TNI dan ketika Indonesia baru merdeka, Indonesia pernah memiliki satu prajurit andalan sebagai penyelundup ulung di laut.
Namanya Jahja Daniel Dharma alias John Lie, seorang prajurit keturunan Tionghoa. Keahliannya menyelundupkan senjata saat masa awal kemerdekaan NKRI membuat John Lie dijuluki "Hantu Selat Malaka".
Bergabung dengan ALRI
Perjalanan John Lie dimulai pada Februari 1946.
Kala itu, ia dan teman-teman pelautnya asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
John Lie singgah di Singapura selama 10 hari. Ia memanfaatkan waktu tersebut untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura.
John Lie juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik.
Semua itu John Lie lakukan demi bisa bergabung bersama laskar perjuangan mengusir penjajah.
Namun demikian, sesampainya di Jakarta, John Lie tak langsung bergabung dengan laskar perjuangan. Sebulan ia habiskan mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta.
Barulah pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta.
Dilansir dari buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran (2014) yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis yang saat itu menjabat menteri keuangan.
Maramis lantas meminta John Lie menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.
Berangkatlah John Lie menghadap M Pardi. John Lie ceritakan betapa dirinya ingin sekali ikut mempertahankan kemerdekaan NKRI melalui pertahanan maritim.
Melihat pengalaman dan kemampuan John Lie, Pardi pun tertarik.
"John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak," kata Pardi kala itu.
Dengan tegas John Lie menjawab, "Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya."
Tak butuh waktu lama, Pardi lantas menandatangani izin bergabungnya John Lie di ALRI. John Lie diangkat sebagai Kelasi III.
Meski berpangkat rendah, banyak perwira ALRI yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.
Ia pun ditugaskan langsung oleh Pardi pada 29 Agustus 1946, pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana. Maka, berangkatlah John Lie ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.
Baca Juga: 8 Manfaat Jahe Merah, dari Jaga Kondisi Jantung Hingga Turunkan Berat Badan
Penyelundup ulung
Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat pada September 1947.
Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.
John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama "The Outlaw".
Pada operasi perdananya, "The Outlaw" melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham. Saat itulah peran John Lie sebagai penyelundup dimulai.
Pada Oktober 1947, John Lie mencatat "The Outlaw" memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.
Sesampainya di Labuan Bilik, pesawat Belanda tampak terbang rendah mengitari pelabuhan. Pesawat tersebut meminta "The Outlaw" meninggalkan pelabuhan.
Namun, John Lie yang enggan meninggalkan pelabuhan, nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.
Pesawat Belanda lantas mengarahkan dua senapan mesin melalui dua juru senjatanya ke arah "The Outlaw". Pelatuk senapan siap ditarik.
Namun, tak disangka, keajaiban terjadi. Usai memutar dan agak menukik, pesawat justru meninggalkan "The Outlaw". Seketika John Lie masuk ke kabin kemudian berlutut.
John Lie berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.
Belakangan, diketahui pesawat Belanda itu pergi karena menipisnya bahan bakar.
Misi perdana John Lie pun sukses. Ia bersama 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.
Sejak saat itu, "The Outlaw" terus menerus berhasil menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura.
Sampai-sampai, siaran stasiun radio BBC di London menjuluki kapal tersebut dengan nama "The Black Speedboat".
Menurut Kepala Subdinas Sejarah Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Kolonel Syarif Thoyib, John Lie memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang di pelabuhan Singapura, Thailand, bahkan hingga Afrika.
Maka tidak heran operasi-operasinya berjalan sukses atas bantuan mereka.
"Apalagi di Singapura, beliau begitu dikenal di sana. Wajahnya yang khas keturunan Tionghoa juga yang mungkin membuat dia dibantu sana-sini. Padahal apa yang John Lie lakukan adalah membantu Indonesia merdeka," ujar Syarif saat berbincang dengan Kompas.com, pertengahan Januari 2017.
Dibantu "keajaiban"
Awal Agustus 1949, "The Outlaw" harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang. Selesai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal. Mereka berlayar kembali ke Aceh.
Namun, tak diduga, pagi-pagi buta kapal Belanda menghadang saat "The Outlaw" memasuki Delta Tamiang. "The Outlaw" pun ditembaki meriam secara membabi buta. Suasana begitu mencekam. Peluru mendesing-desing.
Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung. "The Outlaw" kritis dan tak bisa berbuat apa-apa.
Saat itulah keajaiban datang. Kapal Belanda tiba-tiba saja kandas dan tak bisa lagi bergerak."The Outlaw" pun melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.
Lolos dari armada laut Belanda, armada udara menyergap. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi.
Juru tembak Pesawat Belanda hanya berputar-putar di atas Delta Tamiang. Mereka seakan tidak melihat "The Outlaw" yang porak poranda di bawahnya.
"Roh Kudus membungkus kami," ujar John Lie dalam memoarnya.
Dipimpin John Lie, "The Outlaw" kemudian memutuskan memutuskan kembali ke Penang. Saat itu, satu baling-baling mesin kapalnya copot. Dipastikan sulit untuk melarikan diri jika dikejar Belanda.
Pagi-pagi buta keesokan harinya, "The Outlaw" sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas.
Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw".
Tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter memecah kesunyian laut. Sadar jarak ke Penang masih jauh, John Lie dan awak pasrah.
Seisi kapal berserah pada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.
Akan tetapi keajaiban kembali turun. Cuaca buruk tiba-tiba saja melanda perairan. Hujan turun dengan sangat deras disertai kabut yang menyelimuti permukaan laut.
Gelombang laut tiba-tiba berkecamuk. Kapal Belanda pun tidak lagi bisa mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian. Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London.
Penyiar menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar. Satu bulan setelahnya, tepatnya 30 September 1949, John Lie dipindahkan ke Bangkok.
Ia ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya di darat sama saja, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di tanah air.
"The Outlaw" lantas dipimpin Kapten Laut Kusno. Namun dalam pelayaran pertama, seisi kapal tertangkap oleh Belanda.
John Lie pun melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.
Pangkat tertinggi John Lie adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.
Pada 27 Agustus 1988 John Lie berpulang ke pangkuan Tuhan. Anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.
Sebelas tahun kemudian, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009 menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.
Nama John Lie, pada awal Januari 2017, diabadikan sebagai nama Kapal Perang Indonesia, KRI John Lie.
Dalam salah satu wawancara sebelum meninggal, John Lie sempat menggambarkan situasi pada saat itu di mana setiap pejuang harus memiliki inisiatif melakukan apa saja demi menguntungkan negara.
"Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa," tutur John Lie.
"Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya.(Fitria Chusna)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judulMengenal Perwira TNI Keturunan Tionghoa John Lie, Hantu Selat Malaka..