Advertorial

Kenapa Ratusan Pendaki Tewas di Zona Kematian Menuju Puncak Everest yang Tingginya Capai 8.000 Meter Itu?

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Untuk mencapai puncaknya, Anda harus mendaki hingga ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Untuk mencapai puncaknya, Anda harus mendaki hingga ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Intisari-Online.com - Gunung Everest yang berada di Himalaya, Nepal, diklaim sebagai gunung tertinggi di dunia.

Untuk mencapai puncaknya, Anda harus mendaki hingga ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Meski diselimuti salju dan dingin, tak sedikit orang bermimpi untuk menggapai puncak Everest.

Namun sebelum sampai ke puncak tertinggi dunia, para pendaki harus menaiki tanjakan terakhir yang berada di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl.

Baca Juga: (Video) Sungai Ini Sangat Jernih, Namun Makhluk Pemakan Manusia Ini Bersembunyi Nyaris Tanpa Terlihat, Keahlian Pria Ini yang Mampu 'Menemukannya'

Area terakhir ini dikenal dengan sebutan the death zone atau zona kematian.

"Zona kematian" bukan sembarang nama. Pasalnya, di ketinggian itu, kadar oksigen sangat tipis.

Orang berisiko tinggi kehabisan napas dan meninggal jika terlalu lama di sana.

Antusiasme pendaki selama Mei 2019 membuat risiko itu bertambah buruk. Antrean pendaki mengular di dead zone.

Tercatat, sebanyak 11 pendaki Everest meninggal kehabisan napas di sana.

Laporan BBC pada Oktober 2015 menyebutkan, setidaknya lebih dari 200 jenazah manusia telah ditemukan di dekat puncak Everest.

Namun, kenapa terjebak antrean di Everest bisa menyebabkan kematian?

Dilansir Science Alert (29/5/2019), tubuh manusia tidak bisa "berfungsi" dengan baik jika berada di ketinggian tertentu.

Tempat paling ideal bagi manusia adalah di atas permukaan laut karena otak dan paru-paru kita cukup mendapat oksigen.

Sebaliknya, ketika pendaki terjebak di jalur zona kematian yang ada ribuan meter di atas permukaan air laut, otak dan paru-paru tidak mendapatkan cukup asupan oksigen.

Situasi seperti ini dapat mengakibatkan risiko serangan jantung dan stroke, serta menurunkan konsentrasi.

Seorang pendaki bernama David Breashers membenarkan hal ini.

Menurut dia, pendaki Everest akan mengalami kesulitan bernapas begitu sampai di zona kematian.

Baca Juga: Pengakuan Pembelot Korea Utara Tentang 'Pelenyapan' Warga Disabilitas, Didepak ke Daerah Terpencil hingga Dijadikan Eksperimen Senjata Kimia

Tak usah jauh-jauh ke puncak Everest.

Bayangkan saja jika Anda berada di puncak gunung dengan ketinggian di atas 3.000 meter, pasti juga akan sulit bernapas karena udara tipis.

Sebuah riset mengatakan, saat berada di ketinggian sekitar 3.657 mdpl, kadar oksigen berkurang 40 persen.

Coba bayangkan bagaimana kondisi udara di ketinggian 8.000 mdpl seperti puncak Everest.

Dalam ekspedisi Caudweel Xtreme di Everest tahun 2007, dokter Jeremy Windsor mengambil sampel darah dari empat pendaki yang sedang mengantre di zona kematian. Dia menemukan, cara bernapas mereka sama seperti orang sekarat.

Adaptasi tubuh

Kekurangan oksigen memicu berbagai masalah kesehatan.

Ketika jumlah oksigen dalam darah anjlok, detak jantuk akan melonjak sampai 140 detak per menit.

Kondisi ini akan meningkatkan risiko serangan jantung.

Pendaki butuh waktu untuk bisa aklimitisasi atau adaptasi dengan kondisi di Everest sebelum mencapai puncaknya.

Setidaknya lakukan tiga kali pendakian gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 5.000 mdpl dalam setahun.

Ketika hal ini dilakukan dan tubuh mulai beradaptasi, secara alami tubuh mulai membuat lebih banyak hemoglobin atau protein dalam sel darah merah yang membantu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Hal ini berguna untuk mengkompensasi perubahan ketinggian.

Baca Juga: Perempuan Ini Menari-nari Mengejek Seekor Singa Setelah Berhasil Lompati Pagar, Apa yang Selanjutnya Terjadi Sungguh Tak Terduga

Kondisi di zona kematian

Namun perlu diingat, jika tubuh terlalu banyak memproduksi hemoglobin maka akan berisiko mengubah darah jadi kental.

Darah yang kental akan sulit dipompa dari jantung ke seluruh tubuh.

Hal ini memicu munculnya stroke dan paru-paru basah, atau dinamakan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).

Gejala HAPE antara lain kelelahan, sesak napas pada malam hari, dan kerap merasa lemah.

Penderita HAPE juga bisa batuk mengeluarkan cairan putih, berair, atau berbusa.

Jika batuk seperti ini cukup parah, bisa membuat tulang rusuk patah.

Seseorang yang menderita HAPE biasanya memiliki napas pendek.

Windsor mengungkap, pendaki yang mengantre di zona kematian, napasnya mirip orang yang sedang sekarat.

Saat seseorang sulit bernapas, artinya sedikit oksigen yang masuk ke dalam aliran darah dan diterima organ seperti otak.

Otak yang tidak cukup mendapat oksigen akan mengalami pembengkakan sehingga membuat mual dan mulai halusinasi.

"Hipoksia (kurangnya sirkulasi oksigen ke organ tubuh, seperti otak) terjadi karena pendaki gagal beradaptasi di zona kematian," ungkap pakar ketinggian Peter Hackett.

Hackett menerangkan, ketika otak tidak mendapat cukup oksigen akan memicu High Altitude Cerebral Edema (HACE).

HACE inilah yang memicu munculnya rasa mual, lelah, sulit berpikir, hingga mengalami halusinasi.

Baca Juga: Di Balik 'Strategi Keamanan Konyol' para Pengawal Kim Jong-Un, Ada Siksaan Tak Manusiawi Termasuk Pencucian Otak yang Harus Mereka Jalani saat Berlatih

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kenapa Ratusan Pendaki Tewas di Zona Kematian Menuju Puncak Everest?"

Artikel Terkait