Advertorial
Intisari-Online.com – Siapa sih orang di dunia ini yang tak mengenal CIA?
CIA atau kepanjangan dariCentral Intelligence Agencymerupakan salah satu badan intelijen pemerintah federal Amerika Serikat (AS).
Walau sangat terkenal karena kehebatannya, sebagai organisasi intelijen yang paling terkenal di seluruh dunia, CIA ternyata pernah beberapa kali mengalami kecolongan.
Kegagalan operasi CIA di luar negeri yang bisa membuat malu pemerintah AS umumnya bisa ditepis dengan berbagai penyangkalan namun jika kegagalan operasi berlangsung di negaranya sendiri, CIA pun seperti orang kecolongan dan kebakaran jenggot.
Salah satu operasi CIA yang gagal adalah peristiwa 11 September 2001 yang juga sekaligus mencerminkan tidak efesiennya fungsi intelijen CIA hingga berakibat fatal dan membuat malu pemerintah AS.
Serangan spektakuler yang diduga dilancarkan oleh kelompok Al Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden tanggal 11 September 2001 bukan sekadar teror biasa.
Aksi teror di siang bolong itu sekaligus membuat AS merasa berada dalam kondisi seperti sedang diserang secara militer hingga keluar pernyataan “US under attack”.
Serangan teror yang secara ekonomi dan politik efeknya mendunia tersebut membuat situasi AS pada saat itu benar-benar seperti sedang perang.
Meski begitu, militer AS sendiri sama sekali tidak berdaya mencegahnya.
Pada intinya bisa disimpulkan bahwa CIA memang tidak tahu rencana teror 11 September itu karena para pelaku teror sebelumnya sudah bolak-balik ke AS dengan beragam kepentingan.
Mereka masuki AS dengan visa Saudi Arabia yang kebetulan warganya banyak berkunjung ke AS pada tahun itu sehingga tidak begitu dicurigai.
Pada saat itu, Arab Saudi memang sedang menggalakkan paket mudah untuk pergi ke AS dengan meluncurkan Visa Ekspres sehingga banyak orang asal Arab yang tidak diwawancarai oleh imigrasi saat akan masuk AS.
Lolosnya mereka bolak-balik AS demikian leluasa sehingga semua rencana untuk melancarkan aksi teror sama sekali tidak menemui banyak kendala.
Apalagi di antara pelaku yang rata-rata berpendidikan tinggi, fasih berbahasa Inggris, dan mengerti kultur kehidupan Barat.
Jelas, mereka sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri teroris.
Para pelaku teror bahkan ada yang sampai merampungkan kursus pilot di AS untuk pesawat komersial.
Tidak ada yang menduga jika kemampuan menerbangkan pesawat itu kemudian digunakan para pembajak untuk mengambil alih kendali pesawat dan menabrakkan ke sasaran yang telah ditentukan.
Sepak terjang para pelaku teror yang demikianterang-terangan dan ‘’sangat Amerika’’ itu benar-benar membuat CIA kecolongan karena mereka juga sama sekali tidak menunjukkan sepak terjang yang mencurigakan.
Apalagi dalam penyelidikan yang dilakukan setelah peristiwa 9/11 semua pelaku (yang berjumlah 19 orang) memiliki visa yang sah untuk tinggal sementara di AS dengan keperluan sebagai turis, pelajar, dan kepentingan bisnis.
CIA seharusnya tidak kecolongan atas serangan 11 September karena FBI sebenarnya telah berhasil mendeteksi sepak terjang mereka sejak tahun 1990.
Pada tahun itu, tiga tokoh utama pelaku serangan 11 September, Mohammed Atta, Marwan al Shehhi, dan Zirrad Jarrah terdeteksi telah terbang ke Hamburg untuk bergabung dengan rekan-rekannya.
Kelompok ini kemudian lebih dikenal sebagai kelompok teroris, Hamburg Cell.
Tapi hingga mereka melancarkan aksinya pada 11 September, para agenCIA ternyata tidak mampu mendeteksi atau bahkan mencegahnya.
Ketidakmampuan CIA itu diakui oleh Direktur CIA saat itu, George Tenet yang memberikan pendapat bahwa aksi teror menggunakan pesawat komersial sebagai rudal hidup benar-benar sama sekali tidak masuk dalam dugaan, analisis atau sesuatu yang diperkirakan akan terjadi.
Padahal sebelumnya, sejumlah rencana aksi teror dengan modus serupa sudah berhasil diungkap sehingga aksi menabrakkan pesawat bajakan ke sasaran yang dikehendaki berhasil digagalkan.
Serangan teror 11 September 2001 yang dari sisi militer merupakan gempuran dadakan tak terduga, benar-benar telah mampu menciptakan efek trauma maksimal tidak hanya bagi AS tapi juga bagi dunia.
Serangan teror udara itu bahkan setara dengan gempuran kilat militer Jepang ke Pearl Harbour yang kemudian memaksa AS terlibat PD II hingga berdarah-darah.
Aksi militer besar-besaran pun digelar militer untuk melancarkan balas dendam terhadap serangan 11 September melalui operasi militer bersandi War On Terrorism, khususnya di medan tempur Irak dan Afghanistan yang terus berlanjut hingga saat ini. (Moh. Habib)