Advertorial
Intisari-Online.com – Muh Aris (20), seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, akan menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia.
Hal ini dikarenakan Aris divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Mojokerto setelah terbukti memperkosa 9 anak perempuan.
Aris telah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain vonis hukuman kebiri kimia, Aris juga harus menjalani hukuman kurungan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Soal kebiri kimia, banyak masyarakat yang tidak paham mengenai hukuman kebiri.
Agar Anda tidak salah menangkap penjelasan mengenai hukuman ini, berikut ringkasan perjalanan aturan hukuman kebiri.
Mulai dari masih menjadi wacana, diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan disahkan DPR.
Wacana hukuman kebiri
Jika menilik pemberitaanKompas.com, wacana hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual muncul pertama kali pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kala itu, medio Mei 2014, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, pemerintah tengah mengupayakan tindak pencegahan kejahatan seksual.
Upaya itu, salah satunya kemungkinan penerapan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual.
"Dengan semakin maraknya tindak kejahatan seksual baik terhadap anak maupun orang dewasa di Tanah Air saat ini, tidak menutup kemungkinan pemerintah akan menerapkan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual tersebut," kata Agung, seperti diberitakanKompas.com,31 Mei 2014.
Menurut Agung, selain menerapkan hukuman kebiri, pemerintah juga akan memperberat hukuman pidana terhadap pelaku dengan ancaman hukuman minimal 15 tahun penjara.
Arist Merdeka Sirait meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperberat hukuman pelaku kejahatan seksual dengan merevisi undang-undang terkait kejahatan tersebut.
Beberapa hal yang direkomendasikan Komnas PA saat itu adalah meminta penambahan pemberatan hukuman kebiri dengan suntik kimia.
Menurut dia, pemberatan hukuman menjadi prioritas karena sudah didukung Instruksi Presiden No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Menentang Kejahatan Seksual.
Aris menilai, hukuman yang belum maksimal tidak akan menimbulkan efek jera.
Jokowi terbitkan Perppu Kebiri
Pada Mei 2016, wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali muncul dan menguat setelah kasus pemerkosaan yang dialami Yn, siswa SMP di Bengkulu, yang berusia 14 tahun. Yn diperkosa 14 orang dan dibunuh.
Merespons kasus ini, pemerintah menindaklanjutinya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Melalui perppu ini, pemerintah mengubah dua pasal dari UU sebelumnya, yaitu Pasal 81 dan Pasal 82, serta menambahkan satu Pasal 81A.
Perppu tersebut memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun.
Selain itu, Perppu ini juga menyebutkan tiga hukuman tambahan, yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Usai penandatanganan perppu, Jokowi berharap Perppu tersebut dapat memberikan ruang kepada hakim untuk memberikan hukuman seberat-beratnya dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Ia berharap, aturan ini dapat menekan angka kejahatan seksual terhadap anak.
Menurut Jokowi, kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam masa depan dan tumbuh kembang anak.
okter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan zat kimia ke tubuh manusia.
Disahkan DPR menjadi UU
Setelah sempat tertunda, DPR akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna pada 12 Oktober 2016.
Beberapa fraksi yang sempat menolak, seperti PKS, juga menyetujuinya dengan catatan.
Beberapa catatan tersebut di antaranya adalah data dan rumusan perppu yang menjadi landasan penetapan perppu tidak jelas. Tercatat hanya Gerindra yang tetap dalam posisi menolak.
Rahayu Saraswati, Anggota Fraksi Partai Gerindra, mengatakan, Gerindra mendukung pemberian hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual.
Namun, penjelasan pemerintah dinilainya masih kurang jelas terkait implementasi hukuman tambahan tersebut.
"Jika mayoritas menyetujui, kami menghormati."
"Tapi berdasarkan prinsip, kami harap nanti ditambahkan sebagai catatan bahwa Fraksi Partai Gerindra masih belum menyetujui," ujar Rahayu.
Menanggapi catatan itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yambise berjanji akan segera menindaklanjuti untuk membuat mekanisme pelaksanaan. (Ahmad Naufal Dzulfaroh)
(Artikel ini telah tayang dikompas.comdengan judul "Hukuman Kebiri Kimia, dari Wacana, Pro Kontra, Terbitnya Perppu, hingga Vonis untuk Aris")