Advertorial

Terpaksa Makan Rumput dan Daun, 182 Korban Meninggal Akibat Konflik di Nduga Papua karena Kedinginan, Lapar, dan Sakit

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah
,
Ade S

Tim Redaksi

Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu.
Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu.

Intisari-Online.com - 182 pengungsimeninggal di tengah konflik bersenjata di Papua.

Data itu diinformasikan oleh Tim Kemanusiaan yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga.

Lebih jauh, kejadian yang disebut "bencana besar, tapi di Jakarta santai-santai saja."

John Jonga, anggota tim kemanusiaan, menyatakan pengungsi yang meninggal - sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang - adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit.

Baca Juga: Anak Kartosuwiryo Kembali ke Pancasila: Mengingat Tangis Bung Karno saat Tanda Tangani SK Hukuman Mati Kartosuwiryo, Sahabatnya Sendiri

"Anak-anak ini tidak bisa tahan dingin dan juga ya makan rumput. Makan daun kayu.

Segala macam yang bisa dimakan, mereka makan," kata anggota timnya, John Jonga saat merilis hasil temuannya di Jakarta, Rabu (14/8/2019).

"Ini sudah tingkat pelanggaran kemanusiaan terlalu dahsyat. Ini bencana besar untuk Indonesia sebenarnya, tapi di Jakarta santai-santai saja," tambahnya.

Baca Juga: Ingatlah! Jika Anda Merokok di Dalam Rumah, Maka Saja Anda Menyebarkan Racun ke Setiap Orang di Dalamnya!

Berdasarkan temuan tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Mugi 4.369 orang dan Distrik Jigi 5.056, Distrik Yal 5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang.

Sejumlah distrik lain yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal 4.001, Distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.704.

Mereka mengungsi ke kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan, kata John.

"Ada yang ke Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika.

Baca Juga: Tak Hanya Bajakah Asal Kalimantan, 7 Tanaman Ini Diklaim Bisa Jadi Obat Kanker, Termasuk Daun Belalai Gajah

Pengungsi-pengungsi itu (sebagian) masih ada di tengah hutan, sudah berbulan-bulan," lanjutnya.

Ditetapkan sebagai bencana nasional?

Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu oleh anggota Organisasi Papua Merdeka.

Setelah peristiwa pembantaian ini, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya.

Di tengah operasi militer inilah ribuan warga sipil mengungsi.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem mendorong pemerintah untuk menjadikan apa yang terjadi di Nduga sebagai bencana nasional.

Baca Juga: Bocah Perempuan Usia 3 Tahun Ini Meninggal Saat Pergi ke Dokter Gigi Anak, Orangtuanya Menuntut Klinik Gigi Tersebut

Menurutnya cakupan korban jiwa dan penderitaan pengungsi sudah bisa dijadikan ukurannya.

"Ini sudah masuk ke dalam isu kemanusiaan," katanya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan untuk menetapkan bencana nasional, perlu adanya evaluasi dari kementerian dan lembaga.

"Persyaratan dalam UU (Penanggulanan Kebencanaan) itu sudah memenuhi atau belum.

Itu yang memerlukan pengkajian lebih jauh terhadap situasi di sana," kata Ifdhal saat dihubungi BBC Indonesia, Rabu (14/8/2019).

Baca Juga: Buat Ibunya Menangis Haru, Inilah Sosok Anak Sopir Truk yang Terpilih Jadi Paskibraka Nasional hingga Dapat Beasiswa

Berdasarkan UU ini, indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional perlu meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasaran, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.

"Memang itu laporan data-data berkenaan dengan korban dari orang yang bekerja di sana.

Kita terima, dan itu jadi evaluasi karena itu intensitas memulihkan situasi di Nduga itu jadi prioritas," lanjut Ifdhal.

Bantuan pemerintah ditolak

Saat ini pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan berupa makanan.

Baca Juga: Nunung Direhabilitasi: Alih-alih Dipenjara, Para Pecandu Narkoba Justru Disebut Lebih Baik Direhabilitasi, Mengapa?

Tapi sebagian pengungsi menolak bantuan tersebut karena sejumlah alasan.

"Alasan penolakan itu saudara-saudara kami sedang korban meninggal di hutan, terus kita mau tinggal di sini, mau enak-enak makan.

Sementara teman-teman kita yang ada di hutan mati semua," kata Theo sambil mengatakan pemerintah perlu melakukan pendekatan secara kultural kepada para pengungsi.

Alasan lainnya, para pengungsi juga meminta penarikan pasukan TNI/Polri dari Kabupaten Nduga.

Sebab, keberadaan tentara justru membuat pengungsi ketakutan.

"Supaya kami bisa masuk ke daerah, kita bisa leluasa di kampung-kampung. Daripada kami dibantu terus," tambah Theo.

Baca Juga: Perubahan Drastis Pria Berbobot 177 Kg Hingga Jadi 76 Kg yang Membuatnya Temukan Cinta Sejati, Bagaimana Tipsnya?

Terkait hal ini, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto menolak berkomentar.

Namun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan keberadaan militer di Kabupaten Nduga "untuk memudahkan, bekerjanya (petugas) bantuan-bantuan untuk mengatasi soal krisis kesehatan di sana'.

"Mulai soal anak, perempuan, dan pendidikannya. Jadi juga infrastruktur, karena kalau tidak ada jaminan kemanan juga sulit dilakukan.

Cuma kan yang pengamanan ini tidak dikesankan sebagai satu operasi militer. Kira-kira begitu," kata Ifdhal.

Baca Juga: Kisah Skandal Anna Fallario, Ketahuan Berhubungan Intim dengan Banyak Pria, Akhirnya Dibunuh oleh Suaminya Sendiri

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "182 Korban Meninggal Akibat Konflik di Nduga Papua karena Kedinginan, Lapar, dan Sakit"

Artikel Terkait