Advertorial

Kisah John Wayne Gacy, Badut Pembunuh yang Merasakan 'Sensasi Klimaks Paripurna' Setiap Kali Habisi Nyawa Korbannya

Ade S

Editor

Kisah pembunuhan berantai yang dilakukan oleh John Wayne Gacy alias Pogo si Badut ini jadi yang terkejam dalam sejarah Amerika.
Kisah pembunuhan berantai yang dilakukan oleh John Wayne Gacy alias Pogo si Badut ini jadi yang terkejam dalam sejarah Amerika.

Intisari-Online.com -“Bu jemput saya, ya," kata Robert Piest lewat telepon dari toko tempatnya bekerja di Des Plaines, Illinois, Amerika Serikat.

Ketika Ny. Piest tiba di toko yang menjual obat-obatan, koran, rokok, dan sebagainya itu, Robert yang berumur 15 tahun meminta ibunya masuk dan menungg sebentar di dalam.

"Saya ingin berbicara dulu dengan seorang kontraktor yang menawarkan pekerjaan selama musim panas," katanya. Saat itu Robert cuma mendapat upah 2 dolar 85 sen per jam.

"Lumayan, upahnya lebih tinggi daripada yang saya dapat sekarang."

Baca Juga: Richard Case, Pembunuh Berantai yang Melakukan Ritual Minum dan Mandi dengan Darah Korban Setelah Memutilasinya

Robert keluar meninggalkan ibunya di toko. Lama ia tidak kem bali, sampai ibunya tidak sabar. Ny. Piest menyusul ke luar. Ternyata Robert tidak ada.

Setelah mencari-cari tanpa hasil, Ny. Piest pulang dengan khawatir. Ia lantas menelepon polisi. Hari itu tanggal 11 Desember 1978.

Baca Juga: Gegara Ada Ancaman Pembunuhan, Gangster Yakuza Kawal Kunjungan Soekarno ke Jepang

Terhormat di luar, busuk di dalam

Menurut ibunya, Robert pamit untuk berbicara dengan seorang kontraktor. Jadi, selama dua hari polisi memusatkan penyidikan terhadap John Wayne Gacy, kontraktor yang sedang merombak toko tempat Robert bekerja.

Tanggal 13 Desember, polisi mengun jungi rumah pria bertubuh besar itu dan menemukan bukti-bukti bahwa Robert Piest pernah berada di sana. Maka, polisi lalu menge cek latar belakang Gacy.

Ternyata tahun 1968, di Waterloo, Iowa, Gacy pernah memerkosa seorang remaja pria, yaitu seorang anak buahnya di restoran KFC. Gacy menyuap korbannya supaya tidak melapor ke polisi, tetapi tidak diindahkan. Gacy lantas mengupah seorang remaja preman untuk memukuli korbannya, supaya tidak berani memberi kesaksian. Usahanya gagal. Gacy dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Istri Gacy yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki sangat terguncang oleh tindakan tidak bermoral itu. Begitu pun temanteman Gacy. Selama ini, di hadapan mereka Gacy pria yang baik, rajin, pandai, dan perilakunya terpuji. la bahkan pernah menjadi "Pria Tahun Ini" di organisasi Jaycees. Istrinya minta cerai saat Gacy masih menjalani hukuman.

Di penjara, Gacy merupakan narapidana teladan, sehingga 18 bulan kemudian, pada tahun 1970 ia dibebaskan dengan bersyarat. Dengan seizin polisi ia menetap di Des Plaines, pinggiran Kota Chicago dan segera menikah lagi.

Ketahuan pula bahwa tidak lama setelah pindah, pada tanggal 12 Februari 1971 ia didakwa mencoba memerkosa seorang anak laki-laki di Chicago. Ia tidak jadi diadili karena korbannya, seorang homoseksual, tidak muncul di pengadilan. Masalah itu bisa ditutupinya dengan baik. Bahkan kemudian kebebasan bersyaratnya diubah menjadi kebebasan penuh.

Di Des Plaines, Gacy menjadi kontraktor yang berhasil. Namun, Maret 1976 ia bercerai lagi.

Baca Juga: Status Kematiannya Terbongkar, Wanita Ini Justru Dijadikan Tersangka Kasus Pembunuhan

Penemuan yang mendirikan bulu roma

Sementara mengumpulkan keterangan perihal latar belakang Gacy, beberapa hari lamanya polisi diam-diam mengamati kegiatan kontraktor itu, sambil berusaha memperoleh surat izin dari yang berwenang untuk menggeledah rumah Gacy. Ketika izin itu didapat, Detektif Joseph Kozenczak mendatangi rumah peternakan milik sang kontraktor, di 8213 West Summerdale Avenue, Des Plaines.

Di rumah itu, samar-samar tercium bau busuk. Asalnya dari bawah lantai rumah. Polisi berniat membongkar lantai. Gacy yang menghubungi pengacaranya pada tanggal 22 Desember, dengan tenang mengaku membunuh Piest.

Bukan cuma Piest, katanya, tetapi banyak anak laki-laki lain. Biasanya setelah berhubungan seksual dengan dirinya. Kalau polisi menggali rumahnya, kata Gacy, mereka akan menemukan mayat-mayat itu.

Keesokan harinya, para penyidik mencopot lantai rumah Gacy dan menemukan rongga berlumpur setinggi kira-kira 50 cm yang cuma bisa dimasuki sambil merangkak. Tanah di situ sengaja dicampur dengan kapur. Di kedalaman kira-kira 60 cm, polisi menemukan sesosok mayat yang sudah membusuk dan bagian-bagian tubuh dua mayat lain.

Ketika ditanya di mana lagi ia mengubur korban-korbannya, Gacy membawa polisi ke garasinya. Ia menyemprotkan cat pada lantai semen dan mempersilakan polisi menggali tempat yang ditandainya itu. Di bawah lantai semen itu, polisi menemukan sesosok mayat lagi.

Kata Gacy, polisi akan menemukan 16 mayat di bawah lantai rumahnya dan kira-kira 20 lagi di tempat lain, termasuk di sebuah danau dan sebatang sungai tempat ia membuang korbankorbannya.

Ketika para tetangga tahu polisi menemukan sejumlah mayat korban kejahatan di rumah Gacy, mereka sangat terkejut. Selama ini mereka mendapat kesan bahwa Gacy adalah seorang pria Amerika teladan, yang lurus, ramah, dan pandai bergaul.

Ia pandai mencari pelanggan bagi bisnis konstruksinya dan peduli pada masyarakat sekelilingnya. Selain beramal kepada orang-orang yang kurang beruntung, tanpa diminta ia akan menyingkirkan tumpukan salju dari trotoar sekitar tempat tinggal mereka supaya pejalan kaki tidak teralang lewat.

Di Des Plaines ia banyak meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak dengan berpakaian badut, di antaranya di pelbagai rumah sakit. Sebagai badut, ia memakai nama Pogo. Kalaupun ada yang mendengar desas-desus perihal masa lalu Gacy, mereka menduga masalahnya tidak terlalu serius.

Gacy juga menyelenggarakan pesta-pesta meriah untuk para tetangga dan teman-teman. Hasil penyidikan polisi kemudian mengungkapkan bahwa pria berumur 36 tahun itu ternyata mempergunakan keterampilannya sebagai badut untuk mengecoh korban-korbannya.

Ia akan berkata kepada anak laki-laki yang diincarnya, "Ayo, aku ajari cara melepaskan diri dari borgolan." Begitu anak itu sudah terborgol, ia akan menjerat leher anak itu dari belakang dengan tali. Kadang-kadang ia mempergunakan papan untuk menekan leher si anak sebelum memerkosa mereka.

Dokter ahli pemeriksa mayat dari Cook County, Robert Stein, tiba di rumah Gacy pagi hari setelah polisi menemukan empat mayat pertama. Dokter yang sudah berpengalaman menangani pelbagai korban di jalan-jalan Kota Chicago yang rawan itu merasa penemuan di rumah Gacy paling mengerikan.

Dengan wajah tegang, ia turun lewat pintu jeblak di dasar sebuah lemari di rumah Gacy, lalu beringsut merangkak masuk rongga sempit. Lampu senternya menerangi tanah yang baru digali dan genangan air. Dua lengan manusia terlihat mencuat dari lumpur.

Keluar dari sana, Stein berkata kepada para wartawan bahwa lubang itu harus digali dengan hati-hati, sehati-hati para arkeolog menggali situs purbakala.

"Kami akan mengajak antropolog kami untuk memeriksa bukti-bukti. Ini pekerjaan yang memerlukan penanganan secara halus," katanya. Selain Charles Warren, antropolog dari Kampus Chicago Circle, University of Illinois, diikutsertakan pula ahli forensik odontologi Edward J. Pavlik, untuk memeriksa gigi dan rahang korban.

Baca Juga: Misteri Kapal Ourang Medan, Kru Satu Kapal Tewas Tanpa Adanya Tanda Pembunuhan, Sementara Kapalnya Masih Terus Berlayar

Keterangan korban yang lolos dari maut

Pengakuan Gacy tentang kekerasan seksual dan pencekikan ternyata bukan sekadar isapan jempol belaka. Di koran-koran muncul kisah para korban kejahatan seksualnya yang berhasil lolos dari maut. Menurut Jeffrey Ringall, tanggal 22 Mei 1978, tidak lama setelah pulang berlibur dari Florida, ia pergi ke New Town, yaitu pusat bar dan diskotek yang populer di Chicago.

Ketika sedang berjalan, sebuah Oldsmobile hitam menghadang langkahnya. Pengemudinya yang bertubuh besar menjengukkan kepala keluar jendela dan memuji kulit Ringall yang kecokelatan akibat cahaya Matahari. Mereka mengobrol sebentar lalu pria itu menawarkan untuk sama-sama mengisap ganja sambil bermobil keliling kota.

Ringall yang sedang kedinginan senang bisa masuk ke mobil dan mengisap ganja bersama orang yang ramah itu. Belum juga habis mengisap setengah batang, pria bertubuh kekar itu meringkus Ringall dan membekap wajahnya dengan kain yang diberi kloroform. Ringall pingsan.

Ketika sadar, Ringall sudah berada di dalam rumah dan pria yang meringkusnya berdiri telanjang di hadapannya. Pelbagai alat penyiksa seksual tergeletak di sekelilingnya. Pria itu membekapnya dengan kloroform setiap kali ia sadar.

Keesokan harinya, Ringall sadar dalam keadaan sudah ber pakaian di bawah sebuah patung di Lincoln Park, Chicago. Ringall yang tadinya mengira tidak bakal pulang dalam keadaan hidup lantas pergi ke rumah kekasihnya dan ia dibawa ke rumah sakit.

Ringall dirawat selama enam hari. Kulitnya lecet-lecet dan menunjukkan bekas disundut. Hatinya cedera permanen akibat terlalu banyak menghirup kloroform. Di rumah sakit, ia melapor ke polisi.

Ringall merupakan segelintir korban Gacy yang tidak dibunuh. Korban lain yang lolos dari maut adalah Robert Donnelly. Ia diculik sebelum mengalami siksaan seksual seperti yang dialami Ringall. David Daniel termasuk yang beruntung. la ditawari ikut menumpang mobil oleh Gacy saat menunggu bus, dengan diiming-imingi ganja. la menolak, sampai tujuh kali.

Baca Juga: Kisah Nyata Pembunuh Berantai, Habisi Nyawa 9 Orang dan Koleksi Bagian Tubuh Korbannya di Kulkasnya

Berlagak jadi polisi

Sampai tanggal 29 Desember 1978, polisi menemukan 28 jenazah di rumah Gacy, di tempat-tempat yang hampir semua sesuai dengan petunjuk kontraktor itu. Jumlah ini melampaui jumlah korban pembunuh berantai mana pun dalam sejarah Amerika Serikat dan ternyata... masih bertambah!

Di rumah Gacy, polisi cuma menemukan barang-barang milik dua dari sekian banyak korbannya. Milik korban lain tidak ditemukan, sehingga sulit mengidentifikasi mereka. Mungkin mereka anak laki-laki yang kabur dari rumah atau begitu seringnya menghilang, sehingga tidak dicari lagi oleh orangtuanya.

Menurut pengakuan Gacy, ia sering berburu korban di jalanjalan Kota Chicago, yang biasa menjadi pangkalan pelacur dan anakanak gelandangan. Kadang-kadang ia berlagak sebagai polisi, memperlihatkan lencana dan menodongkan pistol untuk "menahan" korbannya.

Sebagian korban diundang ke rumahnya untuk minumminum, main biliar, atau belajar sulap. Ada pula yang diimingimingi pekerjaan di perusahaannya. Mereka diundang minumminum sampai mabuk, lalu dilumpuhkan dengan kloroform sebelum diikat di kursi. Sebagian korban disumpal mulutnya dengan pakaian dalam. "Mereka cuma makhluk menyimpang yang tidak berharga dan punks" dalihnya.

Mengubur mayat di rongga lantai menimbulkan masalah bau. Ketika belum bercerai, kepada istri keduanya, Gacy berdalih, "Wah, ini gara-gara saluran pembuangan kotoran dari WC tidak lancar nih!”

Ia cuma bisa menjalankan kejahatannya saat istrinya ke luar kota atau tidak di rumah. Sejak pernikahannya bubar Maret 1976, Gacy jadi lebih leluasa membunuh. Setelah tidak ada tempat mengubur lagi di rumahnya, ia membuang mayat korbannya ke sungai.

Bagian forensik mengalami banyak kesulitan dalam mengidentifikasi para korban. Polisi memanggil para orangtua yang pernah melaporkan anaknya hilang, mengirimkan foto sinar X dan "peta gigi" para korban. Namun, sampai 30 Desember 1978, cuma sekitar 10 keluarga yang menghubungi polisi.

Sampai 5 Januari 1979, polisi cuma berhasil mengidentifikasi enam orang anak yang jadi korban dari "peta gigi". Bagian forensik berhasil mengidentifikasi empat lagi, dua di antaranya dari sidik jari. Diperkirakan banyak orangtua yang enggan mengakui putranya kabur dari rumah dan terlibat dengan Gacy.

Walaupun Gacy menunjukkan banyak tempat mayat korbannya, ia tidak bisa atau tidak mau menyebutkan nama korban-korbannya itu. Bulan-bulan berlalu, jumlah korban yang ditemukan menjadi 33, yaitu 28 dikubur di rumahnya dan lima lagi dibuang ke sungai. Empat belas di antaranya tetap berada di kantong mayat yang bertuliskan "tidak dikenal".

Baca Juga: Sepak Terjang Satriandi Sebelum Ditembak Mati Polisi, Jadi Pembunuh hingga Bandar Narkoba Antar-negara

Dari 33 korban, 25 dikenali

Beberapa bulan setelah mayat-mayat pertama ditemukan, antropolog Charles Warren digantikan oleh Clyde Snow, seorang profesor dari Oklahoma. Snow didampingi ahli radiologi John Fitzpatrick yang masih muda tetapi bisa diandalkan.

Pekerjaan mereka berdua lebih sulit. Ibaratnya, mereka harus menyelesaikan teka-teki yang ditinggalkan pendahulunya yang sudah angkat tangan. Selain itu, masa itu belum dipakai tes DNA untuk mengidentifikasi korban.

Mula-mula Fitzpatrick meneliti foto-foto sinar X kiriman keluarga korban dan polisi seluruh AS. la melaporkan kepada Snow hal-hal yang tampaknya menunjukkan persamaan dengan kerangka di kamar jenazah. Sementara itu Snow memulai tugasnya dengan meneliti catatan perihal apa yang ditemukan pada mayat, untuk mendapat gambaran perihal kehidupan korban.

Untuk menentukan umur, Snow meneliti tengkorak, rahang, dan gigi-geligi korban. La menguatkan penemuan sebelumnya bahwa semua korban laki-laki. Umur para korban yang termuda 14 tahun dan yang tertua awal 20-an. Semua pria kulit putih. Sebagian korban dikubur bertumpuk sehingga tulang tercampur. Snow harus teliti memisahkannya.

Bulan November 1979 mereka menuai hasil jerih payah mereka. Pada daftar laporan orang hilang, terdapat nama David Paul Talsma. Saat dilaporkan lenyap 9 Desember 1977, ia berumur 19 tahun.

Menurut keluarganya, Talsma pernah menjadi marinir, tingginya 180 cm, wajahnya tirus. Beberapa tahun sebelum dilaporkan hilang, tulang lengan kirinya pernah patah di bagian atas. Snow jelas melihat bekas patahan tulang di lengan kiri bagian atas pada kerangka no. 1378, yaitu mayat ke-17 yang digali di rumah Gacy.

Menurut keluarga Talsma, putra mereka pernah mengalami cedera tengkorak dan dokter memasang pelat logam pada tengkoraknya. Namun, para dokter tidak menemukan pelat logam pada tengkorak mayat ke-17 itu. Bekas pelat logam pun tidak ada. Jadi, Talsma sempat dikeluarkan dari daftar. Namun, Snow memeriksa kembali bekas-bekas cedera pada tengkorak itu dengan saksama.

Sayangnya keluarga Talsma cuma memiliki foto sinar X dada dan perut putra mereka. Mereka tak memiliki foto sinar X tengkoraknya. Untung polisi menemukan rumah sakit yang pernah merawat cedera tengkorak Talsma di Kentucky. Ternyata kepala Talsma memang tidak pernah dipasangi pelat logam. Keluarganya salah.

Snow dan Fitzpatrick lantas mengatur tulang-belulang no. 1378 secara anatomis untuk difoto dengan sinar X, lalu dibandingkan secara saksama dengan foto-foto dari keluarga dan rumah sakit. Hasilnya cocok!

Sampai 1979, kedua ilmuwan itu berhasil mengidentifikasi lima korban, sehingga jumlah korban yang dikenali mencapai 24. Sembilan lagi yang sudah sangat rusak tidak teridentifikasi. Snow masih penasaran.

la meminta bantuan seorang ahli rekonstruksi wajah, Betty Pat Gatliff. Foto-foto hasil rekonstruksi wajah itu disebarkan ke media massa. Hasilnya lumayan, seorang korban lagi bisa dikenali. Delapan korban sisanya terpaksa dimakamkan sebagai John Doe, orang yang tidak dikenal.

Baca Juga: Pernah Jadi Pembunuh Nomor 1 Bagi Wanita, Ini 9 Gejala Kanker Serviks, Salah Satunya Nyeri Panggul

Pernah berfoto dengan ibu negara

Mengapa John Wayne Gacy bisa tega melakukan pembunuhan berantai seperti itu? Empat puluh dua buku ditulis tentangnya sebelum ia dieksekusi. Masih ada lagi sandiwara, film, 5.000 artikel, dsb. Namun, tidak ada yang bisa mengungkapkan dengan gamblang penyebab kelainannya.

Diketahui, ia lahir pada 17 Maret 1942 di Chicago, Illinois. Ayahnya, John Samuel Gacy, seorang pemabuk yang sering memukuli anaknya sejak kecil dan juga mengata-ngatai putranya banci.

Gacy dekat dengan ibunya, Marion Elaine Robinson, yang sempat menyaksikan putranya diseret ke pengadilan sebagai pembunuh berantai, karena ibu malang itu baru meninggal tahun 1989. Rumah sang ibu sempat digali polisi untuk memastikan tidak ada mayat dititipkan di sana.

Ketika Gacy berumur 11 tahun, dahinya pernah terhajar alat pemukul bola. Pukulan itu menimbulkan gumpalan darah di otaknya, yang baru diketahui pada saat Gacy berumur 16 tahun, yaitu ketika ia sering pingsan. Gumpalan darah itu berhasil dicairkan dengan obat.

Gacy pernah tinggal di Las Vegas lalu kembali ke Illinois. Setelah belajar bisnis di college ia mulai menjadi salesman sepatu. Tahun 1964 ia menikah untuk pertama kalinya lalu pindah ke Waterloo, Iowa, untuk mengelola sebuah restoran KFC milik keluarga istrinya. Di sinilah ia pertama kali tersandung perkara perkosaan. Seperti kita ketahui, perkara itu mengakibatkan ia mendekam 18 bulan dipenjara.

Setelah bercerai dari istrinya yang pertama, Gacy kembali ke Illinois. Di sini tidak ada yang tahu ia pernah dipenjarakan di Iowa. Istrinya yang baru pun tidak tahu. Tahun 1971 ia membeli rumah di 8213 West Summerdale Avenue, di pinggiran Kota Chicago.

Gacy menjadi pendukung gigih kegiatan Partai Demokrat setempat dan pernah difoto bersama calon Ibu Negara Rosalynn Carter. Ketika Gacy ditangkap, foto itu mempermalukan Dinas Rahasia AS. Soalnya, di foto itu jelas kelihatan Gacy memakai lencana "S". Artinya, Dinas Rahasia memberi lencana itu kepadanya karena ia dijamin tidak berbahaya.

Baca Juga: Tak Kapok, Seorang Pembunuh yang Dibebaskan dari Penjara Karena Terlalu Tua Kini Harus Masuk ke Penjara Lagi Karena Kejahatan yang Sama

Edan-eling

Tahun 1972, Gacy mulai membunuh. Korbannya yang pertama adalah Timothy McCoy yang berumur 18 tahun. Tahun 1975 giliran John Butcovitch (17) menjadi korbannya. Apakah di antara waktu itu ada korban lain, cuma Gacy yang tahu.

Istri Gacy yang kedua menceraikannya Maret 1976. Alasannya, Gacy kejam dan mereka sering bertengkar. Bulan-bulan berikutnya korban-korban berjatuhan dengan kekerapan yang luar biasa (silakan lihat daftar korban).

Korban termuda adalah Samuel Stapleton dan Michael Marino yang berumur 14 tahun. Yang tertua adalah Russel Nelson dan James Mazzara yang berumur 21 tahun, sedangkan Jeffrey Ringall yang luput dari maut berumur 26 tahun.

Tanggal 6 Februari 1980, Gacy mulai diadili di Chicago. Selama persidangan ia mengaku tidak bersalah. Menurut pengacaranya, Sam Amirante, Gacy menderita edan-eling. Ia membunuh dalam keadaan edan, tidak waras. Namun, sebelum dan sesudahnya ia eling, waras. Dalih itu langsung ditolak.

Saat di persidangan, Gacy sempat berseloroh bahwa satu-satunya kesalahan yang ia lakukan adalah "mempunyai kuburan tanpa izin". Pembela Gacy menyatakan ke-33 korban tewas secara tidak sengaja saat menjalani pencekikan erotis. Namun, dokter ahli pemeriksa mayat membantahnya. Apalagi Gacy pernah mengaku kepada polisi bahwa ia yang membunuh mereka.

Dalam usaha mengelak dari jeratan hukum, Gacy sempat mengingkari pengakuannya itu. Katanya, mayat-mayat itu dikubur di rumahnya oleh karyawan-karyawannya yang ingin mencelakakan dia. John Wayne Gacy dinyatakan bersalah tanggal 13 Maret 1980 dan dijatuhi hukuman mati, tepatnya 21 kali hukuman seumur hidup dan 12 kali hukuman mati. Hukuman ini sempat masuk Guiness Book of World Records sebagai hukuman terlama yang dijatuhkan pada seorang pembunuh berantai.

Baca Juga: Terobsesi dengan Pembunuh Berantai dan 'Naluri Binatang', Seorang Ayah Bantai Keluarganya dan Buat 'Jurnal' Pembunuhan

Tak pernah menyesal

Tanggal 10 Mei 1994, Gacy dieksekusi di Stateville Correctional Center di Joliet, Illinois, dengan disuntik racun. Aliran racunnya sempat macet, sehingga peralatan suntik harus diganti.

Makanan terakhirnya berupa selusin udang goreng, satu kotak ayam goreng resep asli dari KFC, hampir 0,5 kg stoberi segar, dan kentang goreng. Eksekusinya menjadi berita hangat di koran-koran. Banyak orang berkumpul untuk "merayakan" hukuman mati Gacy di luar penjara.

Konon Gacy tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. Kepada pembelanya yang mengunjunginya di sel menjelang eksekusi, ia berkata, "Membunuh saya tidak akan menghidupkan kembali seorang pun." Saat sorang sipir bertanya kepadanya, apa pesan terakhirnya sebelum dieksekusi, Gacy menjawab, "Kamu boleh mencium pantat saya!"

Saat di penjara, Gacy belajar melukis dengan cat minyak. Setelah ia meninggal, lukisan-lukisannya dilelang. Yang termurah mencapai harga AS $195 dan yang termahal AS $ 9.500.

Lukisan-lukisannya ada yang dipakai sebagai latar belakang sampul album grup musik keras, tetapi ada pula yang sengaja dibakar dalam upacara yang dihadiri anggota keluarga korban.

Pembuat film John Waters memiliki sebuah lukisan Gacy, yang digantungnya di kamar tidur tamu di rumahnya. "Supaya tamu tidak betah menginap terlalu lama," katanya.

(J Christopher Joyce & Eric Stover/Helen Ishwara)

Artikel ini pernah tayang dalam buku "Pembunuh Berantai di 4 Benua" yang diterbitkan Intisari pada 2008.

Baca Juga: Seorang Wanita Pembuat Film Dipuji Karena Aksi Beraninya Menghentikan Pembunuhan dalam Konflik Suku di Kongo

Artikel Terkait