Intisari-Online.Com - Banyak kisah menarik perhatian mengenai kondisi selama masa perang, pendudukan Jepang di Indonesia.
Beberapa survivor tawanan perang berhasil mengabadikan pengalamannya selama jadi tawanan.
Seperti Nio dan Rita, dua penyintas yang menggambarkan suasana di kamp tawanan perang Jepang.
“Makanan di Boekit-Doeri, biarpoen tida lezat, ada tjoekoep,” tulis Nio Joe Lan dalam buku hariannya.
Baca Juga: Berkembang dari Masa Perang Dunia II, Apa Benar Makan Wortel Bisa Sembuhkan Mata Minus?
Lelaki itu seorang jurnalis, yang bersama para tokoh Tionghoa lainnya, ditangkap oleh Jepang pada April 1942.
Kala 'diciduk' dia berusia 38 tahun.
Pada bulan-bulan awal, mereka mendapatkan makanan yang cukup. Sarapan nasi dengan atau tanpa garam, satu mangkuk penuh kopi.
Jelang siang mereka menyantap nasi, tempe, sup daging kerbau, sambal, dan kadang sebuah pisang.
Kemudian, sore harinya teh dan nasi lengkap dengan sepotong daging kari atau goreng, sup, dan sambal.
Cukup mewah untuk seorang tawanan.
Namun, jelang kekalahan Jepang, mereka dipindah ke Serang dan Cimahi.
Mereka pun tak lagi menyantap santapan mengenyangkan lantaran Jepang mengerem pasokan bahan makanan ke kamp.
Lantaran sulitnya bahan makanan, Nio berkisah, pemimpin kamp Cimahi terpaksa pernah membeli satu babi hutan, kemudian dimasak untuk dinikmati seluruh kamp.
“Satoe tjeleng boeat kira-kira 10.000 orang—bisa dimengarti bagian tiap-tiap orang paling banjak tjoema satoe-doea irisan ketjil sadja,” ungkap Nio.
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR