Advertorial

Kisah Serdadu Australia yang Jadi Tawanan Perang, Kesaksiannya Tentang Militer Indonesia di Luar Dugaan

Nieko Octavi Septiana
,
Ade S

Tim Redaksi

Kisah serdadu Australia yang jadi tawanan perang, memberi kesaksian diluar dugaan tentang sikap militer Indonesia.
Kisah serdadu Australia yang jadi tawanan perang, memberi kesaksian diluar dugaan tentang sikap militer Indonesia.

Intisari-Online.Com -Meski sudah berlalu, kisah mengenai perang, seperti perjuangan kemerdekaan selalu menarik untuk terus ditelisik.

Kisah heroik para pejuang memiliki tempat tersendiri di hati orang-orang yang merasakan hasil perjuangan mereka.

Cerita mengenai perang juga tak sebatas adu senjata dan menentukan siapa yang menang. Berbagai kisah sosial dan kemanusiaan juga bisa dijadikan pelajaran.

Seperti kisah seorang serdadu Australia yang mengungkap bagaimana perlakuan militer Indonesia terhadap tawanan perang kala itu.

Baca Juga: Israel Sembunyikan Nuklir Saat Perang 6 Hari, Jika Diledakkan, Letusannya Menjangkau Kairo

Letnan Bruce Anderson terkejut.

Dia dan anak buahnya baru tersadar bahwa mereka berada di tengah kawasan persawahan di luar batas KotaSurabaya. Mereka tersesat.

Jelang penarikan resimen, mereka melakukan patroli pengintaian di sekitar daerah perbatasan

Tampaknya hari itu bukan hari yang baik.

Ketika sedang mencari jalan untuk pulang ke KotaSurabaya, mereka disergap pasukan gerilyawan yang bersenjatakan bambu runcing, golok atau kelewang.

Semua serdadu patroli itu terbunuh, kecuali Anderson yang terluka parah.

Letnan muda itu berhasil lolos dari maut dan bersembunyi di sebuah parit dalam.

Baca Juga: Kesaksian Pemberontak Korea Utara yang Berhasil Kabur dan Mengaku 80 Persen Generasinya Tak Setia pada Kim Jong Un

Akhirnya, tentaraRepublik Indonesia—yang resmi—berhasil menemukannya. Anderson, yang asal Kalgoorlie,Australia, sejak hari itu menjadi tawanan perang.

Kemudian, dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Mojokerto untuk mendapatkan perawatan medis.

Pada suatu hari, seorang perempuan bule muda menemui Anderson.

Lengan perempuan itu menyandang ban lambang revolusi pejuang Republik: Merah-Putih.

Dia mendapat tugas dariAmir Sjarifoeddin Harahap, Menteri PertahananRepublik Indonesia, untuk menyelidiki keadaan Anderson dan kebutuhan tawanan perang.

Saat itu ibu kota negara berada di Yogyakarta.

”Semua beres,” kata Anderson kepadanya.

”Belum pernah aku diperlakukan sebaik di tempat ini!"

"Para dokter dan perawat di sini ramah sekali.”

Bahkan, seorang perwira Republik kerap menjenguknya sembari menawarkan beberapa batang rokok, sekedar bercakap-cakap.

Kalau sang perwira itu tidak ada, demikian kata Anderson, ”Perawat-perawat yang manis-manis dan pandai berbahasa Inggris biasa masuk kemari dan mengajakku mengobrol.”

Lalu dia melanjutkan percakapannya dengan perempuan itu, ”Aku heran diperlakukan sebaik ini, karena aku seharusnya dianggap musuh.”

Anderson memberikan alamat ibundanya seraya berkata, ”Tolong kabarkan padanya bahwa aku selamat dan tidak lama lagi akan pulang.”

Anderson tidak sendiri, ada seorang penerbang Inggris yang turut dirawat di rumah sakit itu.

Pada saat yang sama, sebanyak 200 tentara Republik tengah ditawan dalam sel oleh Inggris di Jakarta.

Bisa saja keduanya dijebloskan dalam kamp tawanan, namun Amir memilih menyelamatkan mereka ke tempat yang lebih aman.

Perempuan bule yang berada di pihak Republik itu bernama Muriel Stuart Walker—keturunan suku Viking yang sohor atas keberaniannya.

Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947.

Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama lokal”K’tut Tantri”—media asing kerap salah menuliskan namanya sebagai ”Miss Daventry”.

K’tut Tantri mengisahkan perbincangan dengan Anderson. ”Selama berbicara dia tidak bisa duduk tenang,” ungkap Tantri, ”melonjak-lonjak terus seperti kanguru.”

Baca Juga: Dalam Kondisi Berpuasa, Pasukan Marinir RI Pernah Gemparkan Ajang Latihan Perang Tingkat Dunia, RIMPAC

Kisah ini merupakan cukilan dari novel otobiografi K'tut Tantri,Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960.

Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judulRevolusi di Nusa Damaipada 1982 dan 2006.

Dalam novel itu dia berkisah tentang perjalanannya dari New York hingga ke Hindia Belanda, bermukim di Bali, jatuh cinta dengan ningrat setempat, hidup dalam tawanan Jepang, dan mendukung kemerdekaan Indonesia.

K’tut Tantri wafat diAustraliapada 1997 dalam usia 99 tahun.

Dia pernah menjalani hidup menderita sebagai tawanan perang Jepang. Bahkan, pernah dinyatakan tewas dalam kamp.

Sayang, keterlibatan Tantri dalam gerilya dan perjuangan revolusiRepublik Indonesiatampaknya kini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia.

Pada suatu malam, Soekarno pernah memperkenalkan perempuan bule itu kepada publik Indonesia. Mereka berada dalam panggung pidato.

”Kuperkenalkan Saudara K’tut Tantri dari Bali,” ujar Presiden Pertama RI tersebut.

”Saudara K’tut ini warga negara Amerika, kelahiran Inggris, tetapi ia lebih Indonesia daripada Inggris atau Amerika."

"Ia memihak kita. Ia telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan.”(Mahandis Yoanata Thamrin)

Artikel ini telah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judulKesaksian Serdadu Australia Kala Ditawan Militer Indonesia di Surabaya

Baca Juga: Buku Nikah Mantan Pacar Billy Syahputra Asli: Ini Cara Bedakan Buku Nikah Asli dan Palsu, yang Asli Punya 7 Lapis Pengamanan!

Artikel Terkait