Advertorial

Candu Hingga Perbudakan, Cerita Kelam Pontianak dalam Catatan Seorang Pelancong Tomboi

Nieko Octavi Septiana
Mentari DP

Tim Redaksi

“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer.
“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer.

Intisari-Online.Com - Seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya, Ida Pfeiffer merupakan pelancong wanita.

Agak tomboi, perempuan asal Austria ini gemar bepergian sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua.

Pulau Kalimantan merupakan salah satu yang jadi tempat yang pernah disinggahinya.

“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer.

Baca Juga: Kisah Ida Pfeiffer, Wanita yang Dikelilingi Sekawanan Pria Kanibal Bertombak dengan Tampang Beringas di Tanah Batak

“Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” tulisnya.

"Meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan."

Ida, seorang perempuan asal Austria, melanglang buana hingga ke Hindia Belanda pada 1852.

Dia berjejak di Pontianah, demikian sebutan Kota Pontianak dalam catatan perjalanannya. Selama Februari-April dia berada di kota kecil itu dan sekitarnya.

"Waktu yang saya miliki selama di Pontianah telah saya gunakan sebaik-baiknya," ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Sang Sultan, Ida Pfeiffer, dan Taman Sari, Tempat Wisata yang Instagram-able di Yogyakarta

Dia menantang teriknya matahari mencari serangga untuk koleksi spesimennya.

"Saya menggunakan kesenangan yang kekanak-kanakan dengan berjalan kaki ke persimpangan khatulistiwa, lokasinya tak jauh dari pusat Pontianah."

Kota Pontianak terletak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai.

Sehamparan dataran, tanpa tanaman padi, dan terlindung dari pepohonan rapat.

Di dekat kota terdapat sebuah benteng yang dikelilingi dinding tanah, yang dijaga sekitar 130 serdadu.

Pemerintahan Eropa dibentuk oleh residen, yang didukung sekitar enam pejabat, beberapa perwira militer, dan seorang dokter.

Ketika Ida bertandang ke Pontianak, penduduk kota itu sekitar enam ribu jiwa.

“Tempat tinggal Sultan menghadap pantai,” demikian kata Ida, yang mungkin maksudnya adalah tepian Sungai Kapuas yang bermuara di lautan lepas.

Dia juga membandingkan para pangeran di India dan pangeran Kalimantan.

Satu-satunya perbedaan menurutnya, pangeran di Kalimantan meminta bantuan Belanda atas kemauan mereka sendiri, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan mereka.

“Para pangeran Borneo tidak memiliki kekuatan,” ungkapnya.

“Di satu sisi untuk menyelesaikan perselisihan antara warga Melayu, Cina, dan Dayak; sementara di sisi lain mengurangi konspirasi yang kerap terjadi dalam keluarga mereka sendiri.”

Baca Juga: Kisah Dewa Judi dari Pulau Kalimantan yang Diburu FBI karena Membuat Pemerintah AS Khawatir

Oleh karena itu, demikian ungkap Ida, mereka rela menerima beban atau kewajiban dari pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan mereka.

"Banyak sultan dan pangeran yang mendapatkan pensiun dari Belanda, sebagai kompensasi hak mereka yang telah dicabut."

“Mereka meninggalkan kedamaian di tanah mereka lewat berbagai pajak, pencucian emas dan tambang intan di wilayah mereka,” demikian ungkapnya.

“Namun, Belanda mengklaim punya monopoli garam dan penerimaan dari opium, juga komoditi lainnya”

Di Pontianak pertengahan abad ke-19, selain kelas ningrat, ada juga kelas budak.

Ida memaparkan bahwa para budak diambil dari tahanan perang, dan para pengutang yang tak melunasi hutangnya.

Juga bagi siapa saja yang selama tiga tahun tidak membayar pajak kepada sultan akan menjadi budaknya, catat Ida.

“Menurut hukum yang barbar,” ungkap Ida menggambarkan, “pengutang harus bersedia mengabdikan dirinya sebagai budak kepada pemberi utang, sampai utangnya lunas.”

Kemudian Ida menambahkan, “Apabila pengutang tadi mati sebelum lunas, istri, anak, atau keluarga dekatnya akan menggantikan posisinya.”

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1.

Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

Dia berkesempatan mengunjungi sebuah rumah candu pada suatu malam di pecinan Pontianak. Di rumah itu pengunjung bisa menikmati isapan candu.

Baca Juga: Perang Candu: Saat Inggris Jual 1.400 Ton Opium per Tahun ke China

Di dalamnya tampak para pecandu yang duduk atau berbaring di alas. Di sebelah mereka terdapat sebuah lampu api untuk menyalakan pipa candu.

Di beberapa rumah candu, beberapa perempuan hadir untuk sekadar menambah gairah bagi pengunjung yang semuanya lelaki.

Bagaimana komentarnya tentang rumah-rumah candu di Pontianak?

“Kejahatan lain, bahkan lebih hebat, yang berdampak tak hanya pada perorangan, melainkan juga seluruh bangsa adalah,” kata Ida, “pemakaian candu.”

Namun, dia melanjutkan kisahnya, pemerintah Hindia Belanda tidak berusaha memberangus.

“Sebaliknya, tampak pemerintah justru menggunakan kuasa untuk membesarkannya.”

Kadang candu memiliki efek menggembirakan untuk beberapa saat, demikian catat Ida.

Dalam pengaruh barang sialan itu mereka bisa mengobrol dan tertawa lepas sampai tak tersadar, namun begitu terbangun mereka seolah bersukacita dalam mimpi yang menyenangkan.

“Saya tidak dapat menggambarkan lagi, betapa mereka yang tak lagi punya kesadaran, namun masih bisa mengikis atom candu yang tersisa dengan tetap berhati-hati,” ungkapnya.

“Sebuah gambaran mengerikan yang dapat disaksikan di tempat-tempat itu.”

Di Kalimantan, candu memberikan bagian pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda.

Ketika Ida berkunjung di kawasan itu, pemakaian candu memang sedang marak, jumlah pemakai meningkat setiap tahun.

Dalam catatan perjalanannya, dia memberikan tanggapan atas situasi di Pontianak saat itu, yang tampaknya menjadi gambaran umum untuk Hindia Belanda.

"Ini benar-benar aneh," ungkap Ida. "Pemerintah Eropa membentuk di satu sisi sebuah koloni dan negara, sebagaimana yang mereka katakan, untuk menyebarkan peradaban dan agama Kristen.

Namun di sisi lain, mereka mendukung tujuan baru dalam kejahatan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Kristen dan kemajuan peradaban."

Ida melontarkan sebuah retorika. Menurutnya, bagaimana mungkin orang Eropa—dia menyebutnya dengan kita—meminta bangsa pribumi tak beradab untuk menghormat, tatkala pribumi dibiarkan menyaksikan hal yang tak berprinsip dan memalukan itu terjadi.

Baca Juga: Mulai Gigoo si Ayam Hingga Kalu si Simpanse, Ini 8 Hewan Terkaya dalam Sejarah

Perdagangan candu telah dilegalkan dan menyumbang laba besar untuk Hindia Belanda.

“Sejumlah keuntungan yang cukup membuat kita semakin mirip dengan penjahat yang menjijikkan.”

Kisah perjalanan Ida di Kalimantan tampaknya yang paling menarik karena sampai dicetak ulang hingga lima kali, selama 1880-an hingga 1906.

"Bahwa sesoenggoehnja adalah seorang orang perempoean, yang bernama Ida, anak ditanah Eropah; maka terlaloe amat soeka perempoean itoe pergi melihat-lihat negeri-negeri, akan mengetahoei 'adat lembaganja, dan tabi'at masing-masing bangsa manoesia; maka apaapa yang dilihatnja atau didengarnja, sekaliannja disoeratkannjalah, soepaja akan dibatja oleh sekalian orang, dengan maksoed, pertama akan menambah pengetahoean mereka itoe, kedoea akan menghiboer-hiboerkan hati mereka itoe djoea adanja."

Demikian kutipan sebuah buku berjudul Kesah pelajaran kepoelau Kelemantan, yang diterbitkan di Batavia pada 1888.

Seorang penjelajah Kalimantan melaporkan bahwa buku perjalanan Madame Pfeiffer dalam bahasa Melayu telah menjadi salah satu buku bacaan anak-anak sekolah pada akhir 1940-an.

Catatan perjalanannya pertama kali diterbitkan di Wina pada 1844, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci).

Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.

Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road : Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Dia menceritakan kisah yang bagus,” ungkapnya.

“Tak heran bahwa buku-bukunya yang dibaca, diterbitkan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain memberikan semangat bagi para pembaca pemula.” (Mahandis Yoanata)

Artikel ini telah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judulCandu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19

Baca Juga: CEO Levi's Ngaku Tidak Cuci Jins Selama 10 Tahun: Adakah Risiko Kesehatan Jika Jins Tidak Dicuci?

Artikel Terkait