Advertorial

Ayah Kandung Minta Pasangan Pernikahan Sedarah Ditenggelamkan di Laut, Hukuman Mati Mengerikan Bagi Pelanggar Kesusilaan di Tanah Bugis

Ade S

Penulis

Mustamin sampai berharap agar kedua buah hatinya dijatuhi hukuman ri-labu, yaitu ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung.
Mustamin sampai berharap agar kedua buah hatinya dijatuhi hukuman ri-labu, yaitu ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung.

Intisari-Online.com -Kasus pernikahan sedarah antara seorang pria dengan adik kandungnya sendiri di Bulukumba, Sulawesi Selatan sudah terdengar oleh ayah kandung dari pasangan tersebut.

Meski dirinya dan keluarga mengaku sebelumnya tidak mengetahui kebar dari pernikahan kakak-adik tersebut.

Mustamin, ayah dariAnsar (32) dengan FI (20), mengaku sangat malu atas pernikahan kedua anak kandungnya tersebut.

Bahkan, Mustamin sampai berharap agar kedua buah hatinya dijatuhi hukuman setimpal karena tindakan yang dilakukan keduanya.

Baca Juga: Kasus Pria yang Nikahi Adik Kandung Hingga Hamil di Bulukumba: Ini Efek Samping dari Pernikahan Sedarah Menurut Sains

Termasuk hukuman adat berupa ri-labu, yaituditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung.

"Saya tidak mau lagi melihat kedua anak itu. Jika hukum adat bisa dilakukan, kedua anak ini akan di-labu (ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung)," ujar Mustamin menanggapi pernikaahan yang dilakukan oleh anak-anaknya, seperti dilansir INTISARI darikompas.com.

Ri labu sendiri merupakan salah satu hukuman terberat yang dijatuhkan bagi pelanggar norma kesusilaan ataumalaweng di tanah Bugis.

Sebenarnya ada hukuman mati lain yang tak kalah mengerikan dari itu. Namun, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu mengenai hukum adat di tanah Bugis berikut ini.

Baca Juga: Kasus Pria yang Nikahi Adik Kandung Hingga Hamil di Bulukumba: Ini 14 Kelainan yang Pernah Terjadi pada Anak yang Lahir dari Pernikahan Sedarah

Dalam penelitian hukum tentang perkembangan hukum adat di Provinsi Sulawesi Selatan yang dipimpin olehAhmad Ubbe, diuraikan bagaimana kebudayaan bugis mengatur tentang pergaulan antara wanita dan laki-laki.

Pergaulan yang dianggap tercela atau melewati batas natara wanita dengan laki-laki, menurut penelitian yang dilakukan olehdari Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2005 tersebut, dikenal dengan sebutanmalaweng.

Terdapat tiga tingkatmalaweng, yaitu:

"(1) Malaweng pakkita (gerak-gerik mata yang terlarang atau sumbangmata);

Baca Juga: Viral Pria Nikahi Adik Kandung di Bulukumba: Banyak Ditentang, Negara-negara Ini Justru Legalkan Pernikahan Sedarah, Apa Alasannya?

(2) Malaweng kedo (perbuatan, atau gerak-gerik dan tingkah-laku yangterlarang, tingkah laku sumbang);

(3) Malaweng luse (perbuatan meniduri atau seketiduran dengan orangyang terlarang atau, sumbang seketiduran)."

Pelakumalaweng pakkitadanmalaweng kedo, meski tetap dianggap melakukan perbuatan tercela, tidak mendapatkan hukuman yang keras.

Namun, lain halnya dengan pelakumalaweng luse, dimana perbuatan yang dilakukan disamakan dengan perbuatan binatang (gau olokolok), yang akan mendapat hukuman berat: dihukum mati dengan cara yang sangat mengerikan.

Baca Juga: 4 Keluarga Kerajaan yang Menderita Kelainan Karena Perkawinan Sedarah, Salah Satunya Cleopatra Ternyata Tak Secantik yang Diberitakan

Terhadap pelakumalaweng luse, ada dua pilihan hukuman mati yang dihadapi, yaitu:dengan cara ditenggelamkan ke laut (ri labu) atau dibuang ke tebing.

Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagaimalaweng antara lain pacaran, bercumbu rayu, perbuatan cabul yang disetujui bersama atau dengan kekerasan, perzinaan menurut hukum Islam, membuat perempuan hamil di luar perkawinan, perkosaan dan hidup bersama, sebagai suami isteri di luar nikah.

Ada alasan yang sangat mengapa masyarakat bugis sangat menentangmalaweng, sebab perbuatan ini dianggap menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat.

Oleh karena itu, tubuh dan darah pelakumalaweng dianggap pantang untuk mengenai tanah Bugis.

Baca Juga: Firaun Tutankhamun, Punya Bentuk Kaki Tak Biasa, karena Jadi 'Korban' Perkawinan Sedarah

Melemparkan keduanya ke dalam laut dipercaya merupakan cara terbaik untuk memenuhi pantangan tersebut.

Malapetaka yang dimaksud, seperit dikutip darikanon I La Galigo, antara lain“dikutuk oleh bawa langit dan seluruh isi bumi, meratalah gunung-gunung, rebah-runtuh kayu besar, mengering-gersang samudra, menjadi abu sagu, menjelma rumput-rumputan Sang Hiang Sri (Dewi Padi)18, dan punahlah orang-orang di bumi”.

Perbuatan tercela pelaku juga bisa menyebabkan sungai mengering karena lemahnya mata air, tanam-tanaman tidak berbuah, munculnya saling sengketa di masyarakat, hingga segala sumber makan pokok tidak ada.

Jadi, dengan cara menenggelamkan pelaku kedasar laut, diharapkan keseimbangan dalam masyarakat kembali terjadi.

Baca Juga: Mengenal Sigajang Laleng Lipa, Tradisi 'Mematikan' Suku Bugis untuk Menyelesaikan Masalah

Artikel Terkait