Advertorial
Intisari-Online.com -Pemerintah mengaku merasa khawatir seiring dengan dirilisnya laporan kinerjaAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hingga akhir Mei lalu.
Meski secara angka lebih baik dibanding dengan bulan sebelumnya,performa penerimaan pajak menjadi sorotan.
Penyumbang pendapatan terbesar tersebut masih saja tumbuh melambat jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018
Perbaikan kinerja APBN tercermin dari peningkatan pendapatan dan penyerapan belanja negara.
Baca Juga: Mei 2019, Defisit APBN Capai Rp127,45 triliun, Sri Mulyani: Ini Merupakan Critical Point bagi Kami
Total pendapatan dan hibah per akhir Mei mencapai Rp 728,45 triliun, setara 33,64% dari target APBN.
Angka ini tumbuh 6,2% year on year (yoy). Pertumbuhan itu lebih baik dari bulan sebelumnya hanya 0,49%.
Lalu, realisasi belanja negara hingga Mei tumbuh 9,8% yoy atau mencapai Rp 855,91 triliun, setara 34,78% dari pagu APBN 2019.
Bulan sebelumnya, pertumbuhan penyerapan belanja cuma 8,39%.
Baca Juga: Benarkah Rupiah Melemah karena Kerusuhan? Sri Mulyani Berikan Penjelasan
Keseimbangan primer juga membaik, hanya defisit Rp 0,4 triliun per Mei 2019. Jauh merosot dari defisit bulan sebelumnya Rp 31,38 triliun.
Hanya, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati perbaikan pendapatan negara belum cukup.
Sebab saat bersamaan, terjadi pelemahan ekonomi yang memengaruhi pendapatan negara.
Semua pertumbuhan komponen pendapatan negara melambat dibanding pencapaian periode yang sama tahun lalu.
Sementara realisasi penerimaan perpajakan termasuk bea dan cukai tercatat Rp 727,7 triliun atau 31,9% dari target APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun.
Realisasi itu hanya tumbuh 5,7% yoy, lebih rendah dari pertumbuhan Mei 2018 mencapai 14,5%.
Yang makin jadi masalah, penerimaan pajak termasuk pajak penghasilan (PPh) migas cuma tumbuh 2,4% yoy menjadi Rp 496,6 triliun.
"Ini merupakan critical point (titik kritis) bagi kami untuk melihat terus tanda-tanda ekonomi, apakah steady (cenderung) menguat atau mengalami pelemahan," terang Sri Mulyani, Jumat (21/6).
Karena itu, Sri Mulyani menegaskan, jajarannya bakal semakin hati-hati mengelola APBN khususnya dari pos penerimaan.
Sebab, kinerja penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga melemah, hanya tumbuh 8,6% yoy, di bawah pertumbuhan setahun sebelumnya sebesar 18,1.
Itu pun, Sri Mulyani mengungkapkan, kinerja PNBP terdorong signifikan dari pendapatan kekayaan negara yang dipisahkan dan dimiliki Bank Indonesia (BI).
"PNBP tanpa ada pendapatan dari BI masih flat. Ini menggambarkan SDA (sumber daya alam) tertekan," kata dia.
Tumbuh minus
Memang, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan bilang, kinerja penerimaan pajak tidak sebagus tahun lalu. "Penyebabnya adalah kondisi ekonomi dan ada kebijakan dari kami," ujarnya.
Semua komponen penerimaan pajak mengalami perlambatan pertumbuhan.
Bahkan, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tumbuh negatif 4,4%.
Kebijakan percepatan restitusi lah yang membuat pertumbuhan PPN dan PPnBM minus.
Kalau tanpa restitusi, pertumbuhannya bisa positif 2,8%. "Jadi secara ekonomi, konsumsi dalam negeri maupun impor memang melambat," ungkap Robert.
Pelambatan ekonomi juga melemahkan PPh nonmigas yang hanya tercapai Rp 294,1 triliun atau 35,5% dari target APBN 2019.
Realisasi ini tumbuh 7,1%, melambat dibanding pertumbuhan periode sama 2018 mencapai 14,3%.
Tapi, Ditjen Pajak belum mengkalkulasi shortfall atawa estimasi gagal dalam mencapai target penerimaan tahun ini.
"Walaupun challenging untuk mencapai target 100%, kami upayakan terus untuk lebih baik," tegas Robert.
Artikel ini sudah tayang di Kontan.Co.Id dengan judul "Penerimaan negara menunjukkan sinyal mengkhawatirkan".
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan Pembayaran Rapel Kenaikan Gaji PNS Ditunda, Ini Penyebabnya